Selamatkan Kapal Negeri Ini

Kita semua mengutuk aksi teror bom bunuh diri yang menewaskan banyak korban. Mayat pelakunya bahkan tidak diterima dikuburkan di tempat asalnya yang menunjukkan bahwa masyarakat menolak paham radikalisme yang dianut pelakunya. Namun nasi sudah menjadi bubur. Saat ini, yang perlu diwaspadai adalah efek samping dari kejadian ini. Efek samping yang paling terasa, karena pelakunya ber-KTP muslim, adalah munculnya stigma negatif terhadap Islam.

Meskipun Islam sangat mengutuk aksi tersebut, efek samping tersebut terlanjur merembes ke benak sebagian orang awam. Untuk itulah, seluruh muslim di negeri ini perlu mendukung upaya pemerintah untuk memberangus paham berbahaya tersebut, yakni paham radikalisme dan terorisme dari sekte-sekte sempalan yang mengatasnamakan Islam. Seiring dengan itu, muslim tidak perlu mencurigai saudaranya sesama muslim hanya karena ia berjenggot atau beratribut mirip pelaku bom bunuh diri. Tidak semua orang berjenggot berpaham radikal.

“Bersikap adillah sejak dalam pikiran.”

― Pramoedya Ananta Toer

Efek samping yang lain adalah adanya oknum-oknum yang menggunakan peristiwa ini untuk tujuan politik. Bagi partisan yang diam-diam menyetujui atau setidaknya tidak mengutuk aksi teror tsb, yang dengan demikian mereka tanpa sadar turut menyuburkan paham radikalisme, kejadian tsb bisa dimanfaatkan untuk menyerang pemerintahan yang sah dengan dalih aparat pemerintah teledor dalam mengantisipasi kejadian. Mereka menggunakan kejadian tsb sebagai alat kampanye untuk memuluskan niatnya merebut kekuasaan. Mereka mungkin bukan pelaku bom bunuh diri, mereka mungkin tidak berafiliasi dengan terorisme, namun apa yang mereka lakukan sama saja menyetujui terjadinya aksi teror bom bunuh diri.

Di sisi lain, kelompok yang dibutakan oleh fanatisme buta terhadap partai tertentu juga bisa memanfaatkan kejadian tsb untuk menyerang kelompok lain yang berseberangan secara politik dengannya. Misalnya, ia asal menuduh kelompok tertentu sebagai antek terorisme. Pada titik ini, aksi terorisme telah berhasil menciptakan kondisi disintegrasi, saling serang, dan mengancam persatuan. Parahnya, kejadian ini bisa dimanfaatkan oleh kalangan tertentu untuk memberangus kegiatan dakwah muslim secara umum yang notabene dakwah tersebut aman, tidak menganjurkan kekerasan, dan bahkan mengutuk aksi teror.

Bom bunuh diri harus dikutuk. Pelakunya harus dikutuk. Otak di balik aksi tsb harus ditangkap dan dihukum. Paham radikalisme harus dipadamkan dan disingkirkan dari negeri ini. Dan sejalan dengan prosesnya, penduduk negeri ini perlu bersatu lagi, tidak saling mencurigai, tidak mengambil manfaat dari kejadian tsb untuk tujuan politik, dan tetap perlu waspada terhadap segala kemungkinan terjadinya kejadian serupa di masa depan.

Masa tergelap di malam hari adalah saat menjelang fajar. Semoga kejadian ini justru menumbuhkan semangat nasionalisme di benak masing-masing warga negeri ini. Sebab di tengah kapal yang bocor, seluruh penumpang terancam tenggelam. Alih-alih saling curiga, mari kita selamatkan kapal negeri ini dengan saling bergandengan tangan menambal kebocoran kapal dan tak lupa menangkap orang yang membocorkan kapal atau yang punya rencana membocorkannya diam-diam.

feri

***

Lagu pengiring: https://m.soundcloud.com/madhum-2/franky-s-perahu-retak

Teroris Tidak Beragama

Mengatakan bahwa “teroris tidak beragama” bukanlah dalam rangka melindungi reputasi agama, melainkan memang demikian adanya bahwa mereka memang tidak beragama dalam arti sebenarnya. Sebaliknya, menganggap pelaku teroris beragama sama dengan membenarkan bahwa sekte yang mereka anut memiliki ajaran yang sesuai dengan ajaran agama, padahal ajaran mereka sesat dan tidak diakui dalam agama. Jadi mengatakan bahwa “teroris bukan orang beragama” atau tegas mengatakan bahwa “teroris bukan orang Islam,” justru menegaskan bahwa sekte yang ajarannya mereka anut sama sekali tidak benar dan tidak mencerminkan agama yang diakuinya dalam KTP. Bagi saya, meskipun KTP mereka tertulis Islam, mereka bukan orang Islam dan saya tak sudi memiliki saudara muslim seperti mereka, karena mereka bukan beragama Islam atau bahkan sama sekali tidak beragama.

Orang Bebal (pendahuluan)

Orang bebal berbeda dengan orang bodoh. Orang bodoh masih dimungkinkan menyadari kebodohannya. Sementara orang bebal sama sekali tidak menyadari kebodohannya. Bahkan bisa jadi ia sengaja tak mau mengakui bahwa dirinya bodoh dalam hal tertentu. Bahwa setiap orang tidak mungkin pandai dalam segala hal adalah fakta, namun bagi orang bebal itu tak berlaku untuk dirinya; mereka meyakini bahwa dirinya pandai dalam segala hal dan keyakinan tersebut membuatnya sulit menerima pendapat atau kebenaran yang datangnya dari luar dirinya, itulah yang membuatnya menjadi bebal. Orang bebal memiliki seperangkat keyakinan yang dipegangnya dengan teguh, entah dia tahu itu salah ataupun tidak. Itulah kenapa orang bebal dikenal pula dengan julukan keras kepala.

Orang bebal bukan berarti bodoh atau tidak pandai. Memang ada hal-hal bodoh dari dirinya, yang secara sadar tidak diakuinya, namun ia juga memiliki kepandaian. Biasanya orang bebal pandai dalam satu atau dua hal spesial. Kepandaian spesialis itu ia yakini dan lantas membentuk kepercayaan dirinya. Orang bebal menyadari bahwa dirinya pandai, namun mereka melampaui batasannya, mereka meyakini bahwa dirinya pandai dalam segala hal. Itulah pondasi awal sikap bebalnya.

Karena merasa pandai dalam segala hal, ia pun sulit menerima kebenaran dari pihak lain. Selain ia punya asumsi untuk segala hal, ia juga punya jalan pikirannya sendiri, ia punya logikanya sendiri, yang memotivasi dirinya untuk berbeda dengan yang lainnya. Orang bebal merasa telah sempurna sehingga sulit dikembangkan atau berubah. Itulah kenapa orang bebal sulit mendengar dengan aktif melainkan ia hanya mendengar apa yang ingin ia dengar untuk semakin menguatkan apa yang diyakininya. Pada titik ini, orang bebal bisa menjadi pribadi yang berbahaya.

Orang bebal bisa membahayakan komunitas jika dengan kebebalannya ia bukan hanya tidak mau menerima masukan namun juga ia akan berusaha memaksakan pendapatnya kepada pihak manapun. Selain tidak suka mengakui kelemahannya sendiri, orang bebal juga senang menemukan kesalahan orang lain. Ia merasa dirinya yang paling benar, dan merasa kebenaran yang diyakininya itu telah final, tak mungkin lagi diubah.

Sifat keras kepala orang bebal akan menyulitkan kerja tim. Dalam suatu kerja tim, satu orang bebal akan bisa merusak kinerja tim. Bukan hanya itu saja, jika ia punya pengaruh maka seluruh anggota tim tersebut akan tertular sehingga menjadi tim yang bebal. Penularan sifat bebal ini terjadi jika ia memiliki otoritas untuk memaksakan pendapatnya kepada anggota tim.

menghadapi-orang-bebal

Orang bebal memiliki ciri khas sulit untuk digerakkan. Motivasi dalam bentuk apapun akan sia-sia untuk mereka. Itulah kenapa, orang bebal cenderung menjadi pribadi pemberontak. Jika ia tak memiliki kekuasaan, pemberontakannya akan dilakukannya diam-diam dengan tidak menaati aturan; dan jika ia memiliki kekuasaan, ia benar-benar akan menjadi pemberontak yang efektif. Dibutuhkan kualitas kebebalan tingkat tinggi untuk menahan pedihnya rasa sakit dalam pemberontakan.

Orang bebal bisa menjadi bebal karena beberapa alasan. Salah satu alasan terkuat adalah masa lalunya. Orang bebal biasanya memiliki masa lalu sulit, nestapa, sengsara yang membuatnya harus mengabaikan kenyataan hidup. Pengabaiannya terhadap realitasnya di masa lalu membuatnya mengabaikan realitas yang kini dihadapinya. Ia menafikkan kenyataan hidupnya yang pahit dengan menjadi bebal. Orang bebal menyangkal kenyataan hidupnya. Itulah kenapa ia menjadi pribadi yang sulit diubah.

(bersambung)

Provokasi Psikologis

Secara psikologis, penonton Indonesia lebih mudah dipengaruhi oleh iklan yang di dalamnya memuat kata ‘Jepang’. Paling tidak demikianlah yang dipandang oleh para produsen, atau tim kreatif di balik iklan-iklan produk yang ditayangkan di televisi.

Di Indonesia ada bermacam-macam teh, namun minumlah produk kami sebab “yang ini teh Jepang”. Bahan baku beras juga banyak di Indonesia, tapi produk bedak kami “berbahan baku beras Jepang”. Sabun mandi agar tampak bagus, meskipun diproduksi di dalam negeri, berilah nama Jepang. Bahkan air minum harus pula air minum yang berteknologi Jepang, jika tidak itu hanya air minum biasa bukan yang luar biasa. Kecuali rumput Jepang, semua embel-embel Jepang di atas mengandung provokasi psikologis.

Yang paling latah di antara semuanya adalah yang suka berseru ‘Ganbate!’, seakan-akan di Indonesia tak pernah dikenal istilah ‘Ayo!’ atau ‘Semangat!’ atau ‘Bangkit!’ dll.

Dua Film Fiksi Tentang Melampaui Efektivitas

media-20170416

Sebagian besar dari film yang bagus akan terselip di dalamnya pesan moral untuk direnungkan penontonnya, tak terkecuali film Equilibrium (2002) dan Oblivion (2013).

Dalam film Equilibrium, keberagaman dianggap sebagai musuh dari penyeragaman. Film ini secara jelas menggambarkan bahwa penyeragaman dianggap lebih efektif dibandingkan keberagaman.

Sementara dalam film Oblivion, inovasi dianggap sebagai musuh dari upaya fokus pada tujuan. Film ini secara jelas menggambarkan bahwa fokus pada tujuan dianggap lebih efektif dibandingkan inovasi.

Efektivitas adalah tema sentral dari kedua film tersebut. Namun pada ujungnya, kedua film ini justru mempertanyakan ulang anggapan-anggapan tersebut.

Kedua film ini dibagi dalam dua bagian. Pada bagian awal, baik film Equilibrium maupun Oblivion, keduanya sama-sama menceritakan tentang seorang tokoh yang menjalankan prinsip-prinsip dalam hidupnya, sehingga ia menjadi pribadi yang efektif.

Sang tokoh digambarkan sebagai pribadi yang bisa dikatakan telah menerapkan prinsip-prinsip efektivitas sebagaimana yang ditulis Stephen Covey dalam buku The 7 Habits of Highly Effective People. Buku ini terkenal dengan sebutan Buku 7 Kebiasaan.

Sementara pada bagian kedua, baik film Equilibrium maupun Oblivion, keduanya sama-sama menceritakan tentang perubahan sang tokoh dari pribadi efektif menjadi pribadi yang luhur.

Sang tokoh digambarkan sebagai pribadi yang bisa dikatakan telah melampaui efektivitas dan berubah menjadi pribadi yang menerapkan prinsip-prinsip keluhuran sebagaimana yang ditulis Stephen Covey dalam buku The 8th Habit: From Effectiveness to Greatness. Buku ini terkenal dengan Buku Kebiasaan Ke-8.

Dua film ini, secara menarik, mengajarkan kepada kita bahwa menjadi efektif saja tidaklah cukup.

Selain efektif, seseorang perlu untuk menjadi luhur, terhormat, mulia, bijak, yang dirangkum dalam kata Berjiwa Besar (Greatness). Sebab dengan efektivitas, seseorang hanya akan bisa mengubah dirinya sendiri menjadi orang sukses.

Namun dengan keluhuran, seseorang dimungkinkan untuk mengubah lingkungannya menjadi sukses. Dalam konteks buku Stephen Covey, kondisi tersebut tercermin dalam ungkapan sederhananya: “Find your voice, and inspire others to find their voice.”

***

Itulah kenapa seseorang yang berkinerja tinggi, yang efektif sekaligus efisien, belumlah lengkap jika tidak memiliki jiwa besar; yang salah satunya tercermin dari sikap memanusiakan manusia.

***

Anda mungkin akan menemukan apa yang saya maksudkan di atas dengan menonton dua film tersebut tanpa harus membaca bukunya. Namun maksud itu tidak akan sepenuhnya Anda tangkap jika Anda belum membaca dua buku yang disebut di atas.

Namun terkadang harus diakui bahwa membaca buku memang lebih memberatkan dibandingkan menonton film.

 

Kebiasaan Ke-8

Efek paling berbahaya dari menjadi pribadi yang sangat efektif adalah sirnanya sisi kemanusiaan. Itulah kenapa Mr Covey merasa perlu menulis buku “kebiasaan ke-8”

Stephen Covey pernah menulis buku berjudul “The 7 Habits of Highly Effective People” atau dikenal dengan Buku 7 Kebiasaan. Dalam buku tsb, Mr Covey menjelaskan tentang 7 kebiasaan yang bisa mengubah seseorang menjadi pribadi yang sangat efektif. Menurutnya, menjadi efektif bukanlah hal yang bisa ditawar-tawar karena efektivitas adalah harga yang memang harus dibayar untuk bisa bertahan dan beradaptasi di Era Informasi. Namun begitu, efektif saja belum cukup, sebab jika ukurannya hanya efektivitas maka robot bisa lebih efektif dibanding manusia. Sebagaimana robot, pribadi yang sangat efektif, yang fokusnya hanya pada pencapaian tujuan, mungkin saja akan mengabaikan sisi kemanusiaan atau bahkan kehilangan sisi kemanusiaan. Itulah efek samping; ia memang tidak selalu terjadi namun mungkin terjadi; dan seandainya terjadi maka ia akan menjadi efek paling berbahaya. Itulah kenapa Mr Covey kemudian menulis satu buku lagi untuk menyadarkan pembacanya agar melampaui efektivitas. Buku yang disebut terakhir itu berjudul “The 8th Habit: From Effectiveness to Greatness” atau dikenal dengan Buku Kebiasaan Ke-8.

Momen Keabadian

Saat setetes air hujan jatuh dari angkasa, pada momen tertentu, ia terjebak di antara langit dan bumi; menggelantung beku di tempatnya dan sunyi. Air itu berhenti, diam tak ke mana-mana, abadi. Itulah saat kesadaran manusia berhasil menangkap serpihan penampakan dunia. Pada momen ketika manusia berhasil menyadarinya, pada saat yang sama ia pun membeku dalam keabadian, utuh dalam satu satuan waktu.

Bahwa seluruh serpihan diciptakan Tuhan dan Dia senantiasa mengabadikan setiap momen yang terjadi, itulah kenapa sesuatu terjadi untuk abadi, sejak terjadi. Apapun yang terjadi, terjadi untuk abadi.

Alangkah indahnya jika manusia berhasil menyadari bahwa keabadian telah dimulai sejak hari ini; bahwa keabadian telah, masih, dan sedang berlangsung dari waktu ke waktu. Bahwa sesungguhnya dunia dan seluruh momen penampakannya terliputi oleh keabadian Tuhan.

Buku, Foto, dan Hujan

Apakah mesin waktu benar-benar ada? Jika yang dimaksud mesin waktu adalah mesin yang bisa dikendarai manusia untuk menjelajah waktu, maka jawabannya adalah mesin waktu tidak benar-benar ada. Mesin waktu hanyalah imajinasi alias fiksi.

Namun jika yang dimaksud mesin waktu adalah sesuatu yang bisa melampaui waktu, maka jawabannya adalah hal seperti itu dimungkinkan. Buku adalah salah satunya.

Buku bisa melampaui waktu dan bisa dibaca oleh pembaca pada zaman yang berbeda dengan zaman ketika ia ditulis. Ketika seorang penulis menulis sesuatu dan menerbitkannya dalam bentuk buku, maka ia telah mewariskan kepada dunia tulisannya untuk waktu jangka panjang.

Hari ini kita masih bisa membaca buku yang ditulis oleh para penulis di masa lampau. Buku memungkinkan ide seseorang melintasi waktu dan melampaui batas kehidupan penulisnya.

Foto dan karya sejenisnya, misalnya film dan lukisan, juga bisa dianggap sebagai mesin waktu. Foto mirip lukisan. Orang yang memotret dengan kamera berarti melukis dengan cahaya.

Memotret adalah mengabadikan momen yang terjadi pada suatu saat. Momen yang difoto berarti momen yang diabadikan untuk bisa dilihat oleh siapapun di masa depan, melampaui waktu pemotretnya. Foto adalah mesin waktu yang mengabadikan momen.

Satu lagi mungkin hujan. Kenapa mungkin? Karena ini masih bisa diperdebatkan. Hujan dikatakan sebagai mesin waktu lantaran ia selalu berhasil menstimulasi manusia untuk mengenang masa lalu.

Dikarenakan suara hujan selalu sama dari waktu ke waktu, hal ini mengesankan kepada manusia bahwa hujan yang baru saja terjadi bagaikan hujan yang dulu pernah ia alami, padahal waktunya berbeda. Kesan yang muncul ini pada akhirnya menstimulasi pikiran manusia untuk mengakses kenangannya di masa lampau. Karena itulah, hujan seringkali berhasil menjadi sarana bagi manusia untuk menghadirkan kembali peristiwa yang terjadi di masa lampau.

Era Berlimpah Informasi

Di dunia di mana informasi berserakan dan mudah didapatkan oleh siapapun, keunikan seseorang bukan lagi ditentukan oleh berapa banyak informasi yang bisa didapatkan atau dibagikannya, sebab kini siapapun bisa melakukannya dengan mudah; artinya hal tersebut bukan lagi keunikan. Bukan juga ditentukan oleh berapa banyak jumlah orang yang menyukai tulisan atau karya seseorang, sebab media bisa mengorbitkan atau menenggelamkan tulisan atau karya seseorang; artinya kepopuleran bukan lagi lantaran tulisan atau murni karena karya itu sendiri.

Di dunia di mana informasi mudah disalin dan ditulis ulang (seperti kalimat dalam tulisan ini), siapapun kini bisa menulis sesuatu dari apa yang telah didapatkannya. Di dunia di mana keyboard bisa diketik sambil tiduran, kepandaian menulis bukan lagi keunikan melainkan hanya satu hal. Kesadaran pikiran yang mendasari apa yang ditulis adalah hal lain yang berbeda.

Di dunia keterbukaan informasi ini, sebaiknya jangan mudah kaget dan jangan mudah heran. Ojo kagetan. Ojo nggumunan.

Saat ini, informasi dengan mudah didapatkan oleh siapa saja. Informasi telah berada di ujung jari. Nyaris setiap orang bisa berbagi informasi apapun. Mulai dari yang penting hingga yang tak berguna. Mulai dari sampah hingga mutiara. Dan, setiap orang bisa mengkonfirmasi ulang kebenaran informasi yang dia terima.

Kini nyaris tak ada lagi yang benar-benar bisa dirahasiakan. Mulai dari rahasia bisnis hingga sulap. Rahasia menu makanan hingga cara perakitan kapal. Kini pintu informasi telah terbuka dan rahasia menjadi kosakata yang semakin langka.

Di era informasi, keunggulan seseorang tidak lagi ditentukan oleh sebanyak apa informasi yang dia dapat dan bagikan.

Di era ini, keunggulan seseorang ditentukan oleh kemampuannya merangkai berbagai kepingan puzzle informasi yang berserakan menjadi satu gambar besar yang utuh dan menyeluruh namun ringkas dan sederhana. Siapa yang lebih dulu mampu menemukan benang merah yang mengaitkan berbagai informasi menjadi satu konklusi, dialah yang unggul dan berpotensi memenangkan kompetisi.