Berenang, Memanah dan Berkuda Dalam Organisasi

“Ajari anak-anakmu berenang, memanah, dan naik kuda,” demikian kata Umar bin Khattab, tokoh Islam yang namanya tercantum di dalam buku 100 Tokoh Paling Berpengaruh di Dunia Sepanjang Sejarah karya Michael H. Hart. Berenang, memanah, dan berkuda adalah tiga aktivitas yang membutuhkan konsentrasi. Berenang adalah aktivitas yang memang disukai anak-anak. Jika dulu latihan memanah hanya dilakukan oleh atlet panahan, kini sudah banyak masyarakat umum yang memiliki alat panah dan bermain panah. Kini memanah telah menjadi semacam trend permainan pengisi waktu dewasa ini. Berkuda pun demikian. Sebagian negara juga memiliki satuan polisi berkuda. Dapat dikatakan bahwa berenang, memanah, dan berkuda adalah tiga aktivitas yang sejak dulu hingga kini tetap relevan dengan semua zaman.

Sementara Ali bin Abi Thalib, juga seorang tokoh Islam, pernah berkata, “Didiklah anak-anakmu sesuai dengan zamannya, karena mereka hidup bukan di zamanmu.” Dengan kalimat tersebut, Ali hendak mengingatkan bahwa tidak semua zaman memiliki karakteristik yang sama, bahwa perubahan yang mengiringi zaman adalah keniscayaan.

Meskipun berenang, memanah dan berkuda akan senantiasa relevan dengan semua zaman, di tulisan ini tiga hal tersebut akan dicoba untuk diambil substansinya, dilihat dari makna filosofisnya dan kemudian ditawarkan sebagai tiga hal yang mungkin bermanfaat jika diterapkan ke dalam manajemen kontemporer.

Manajemen terutama berurusan dengan manusia. Aset terbesar dari organisasi bukanlah gedung dan sarana prasarananya, melainkan manusianya. Organisasi yang kuat digerakkan oleh orang-orang yang kuat, yang secara makna dapat dikatakan sebagai orang-orang yang memiliki daya tahan (durabilitas) terhadap tekanan kerja dan tuntutan zaman. Dan mengembangkan daya tahan adalah substansi dari berenang.

Selain sebagai cabang olahraga yang dilombakan, banyak pakar kesehatan menyetujui bahwa aktivitas berenang sangat bermanfaat untuk menjaga daya tahan seseorang. Substansi inilah yang sangat diperlukan organisasi mana pun: daya tahan. Anjuran Umar bin Khattab agar kita mengajarkan anak-anak berenang, selain berarti bahwa kita perlu melatihnya berenang secara harfiah, secara makna juga berarti bahwa kita perlu mengajarkan anak-anak bagaimana melatih daya tahan mental dan pikirannya. Hanya mereka yang memiliki cukup daya tahan yang akan berdiri tegak dan melaju di tengah perubahan zaman. Dan orang-orang berkualitas seperti ini sangat dibutuhkan organisasi.

Organisasi juga membutuhkan orang-orang yang memiliki kekuatan bukan hanya tubuhnya namun juga intelektual dan mentalnya. Selain membangun daya tahan (durabilitas), kekuatan juga merupakan kata kunci dari berenang. Organisasi yang orang-orangnya bermental “perenang” dapat dikatakan memiliki asset terbaik berupa orang-orang yang kuat.

Namun memiliki orang-orang yang “kuat” saja tidaklah cukup. Organisasi mana pun, baik komersil maupun non-komersil, membutuhkan orang-orang yang cepat dalam bekerja. Kini kecepatan sudah menjadi bagian tak terpisahkan dari zaman ini, yakni zaman informasi. Pegawai yang “kuat” namun tidak dapat bergerak dengan cepat, dalam artian ia bekerja lamban dan kurang produktif, akan terseleksi dengan sendirinya dan organisasi modern dewasa ini dengan mudah akan dapat menandai orang-orang semacam ini. Kekuatan memang perlu, namun itu tidak cukup; bahkan tidak berguna jika tidak memiliki kecepatan. Itulah gunanya berkuda.

Makna filosofis dari berkuda adalah tentang kecepatan. Seseorang yang bergerak maju dengan menaiki kuda akan lebih cepat sampai di tujuan dibandingkan orang lain yang berjalan kaki. Seseorang yang melaju dengan kendaraan akan lebih cepat sampai tujuan dibandingkan pelari paling jagoan.

Berkuda adalah simbol dari penggunaan sarana untuk mempercepat mencapai tujuan. Dalam makna yang diperluas, seseorang yang mahir menggunakan alat bantu akan lebih efisien dalam mencapai tujuan dibandingkan yang hanya mengandalkan kekuatannya sendiri. “Kuda” itu bisa bermakna aplikasi, sarana teknologi informasi, dan hal apapun yang mempercepat kinerja pegawai untuk mencapai target organisasi. Efisiensi adalah kata kunci dari berkuda.

Perbandingan antara kekuatan dan kecepatan tergambar jelas dalam rumus Einstein tentang energi, yakni E=m.c2. Berdasar rumus ini, energi adalah perkalian antara materi dan kuadrat dari kecepatan cahaya. Materi (m) adalah simbol kekuatan. Sementara kecepatan cahaya (c) adalah simbol kecepatan. Besaran m dan c menentukan besaran E. Sebesar apapun kekuatan (m) jika kecepatannya (c) rendah, energi yang hasilkan akan kalah dibandingkan jika kecepatan (c) tinggi meskipun kekuatannya (m) tidak seberapa.

Untuk jelasnya kita ambil contoh. Contoh pertama, kekuatan besar (misal m=9) dikombinasikan dengan kecepatan rendah (misal c=2) maka E=9.2.2, hasilnya E=72. Contoh kedua kita balik, kekuatan kecil (m=2) dikombinasikan dengan kecepatan tinggi (c=9) maka E=2.9.9, hasilnya E=162. Artinya, pengaruh kecepatan jauh lebih signifikan menghasilkan energi (baca: output kinerja) dibandingkan pengaruh kekuatan. Dengan kata lain, yang cepat akan mengalahkan yang kuat namun lamban. Artinya, efisiensi lebih penting dibandingkan keahlian personal.

Organisasi yang efisien digerakkan oleh orang-orang efisien yang berada di dalamnya. Jika organisasi tersebut organisasi nirlaba sektor publik semisal kantor pelayanan, maka kantor pelayanan akan efisien jika para pegawai di dalamnya bekerja efisien dan bukan hanya mengandalkan kemampuan kerja pribadinya.

Namun kecepatan saja belumlah cukup. Sebab baik kuat maupun cepat adalah kualitas dasar yang tak bisa ditawar lagi di zaman sekarang. Kuat dan cepat adalah persyaratan minimal. Durabilitas dan efisiensi adalah sesuatu yang tak bisa ditawar di era informasi ini. Sejak awal, seleksi penerimaan calon pegawai untuk menjadi pegawai suatu instansi sudah memperhitungkan dua hal ini: kekuatan dan efisiensi. Namun sayangnya, dua hal tersebut belumlah cukup karena kinerja dari gabungan kekuatan dan efisiensi akan sia-sia jika tidak tepat sasaran.

Gabungan kekuatan dan kecepatan baru bermanfaat hanya jika diarahkan untuk mencapai sasaran organisasi. Keahlian personal (hard competency) dan efisiensi justru akan berbahaya bagi organisasi jika tidak mengarah pada visi dan misi organisasi.

Sebagaimana pernah diungkap oleh Stephen Covey melalui bukunya berjudul The 7 Habits of Hoghly Effective People, kecepatan kinerja yang tidak mengarah pada tujuan hanya akan mempercepat seseorang menemukan kegagalan; kecepatan yang tidak tepat sasaran dianalogikan seperti efisien dalam menaiki tiap anak tangga namun tangga tersebut bersandar pada dinding yang salah. Karena kesalahannya, orang yang naik tangga tersebut terpaksa harus turun kembali ke bawah (ke titik awal pekerjaannya dimulai) dan menyandarkan ke tangga yang tepat (memulai dari awal lagi); dan seluruh aktivitas ini meskipun di dalamnya ada unsur efisiensi namun hasilnya justru banyak membuang-buang waktu alias tidak efisien (karena harus dua kali kerja). Efisien yang tidak efektif akan merugikan pelakunya. Kecepatan barulah bermanfaat jika tepat sasaran. Itulah gunanya memanah.

Inti dari memanah adalah mengarahkan dan melejitkan anak panah tepat ke sasaran. Di dalam memanah juga ada kekuatan dan kecepatan, namun yang terpenting adalah filosofi tepat sasarannya. Secara simbolis, memanah adalah tentang fokus, berkonsentrasi, dan mengarahkan sesuatu tepat ke sasaran.

Setiap organisasi memiliki sasaran, apa yang disebut visi, misi, target, tujuan, dan lain sebagainya. Tidak penting sebanyak apa organisasi tersebut memiliki orang-orang kuat dan cepat, jika kinerja mereka semua tidak mengarah untuk mencapai tujuan organisasi, tidak merealisasikan apa yang ditargetkan, atau melenceng dari visi dan misi organisasi, maka semua kualitas dasar tersebut akan sia-sia. (Lihat lampiran untuk membaca kisah tentang tindakan efisien yang tidak efektif)

Efektivitas adalah kunci dari memanah. Organisasi dikatakan efektif jika seluruh elemen di dalam organisasi tersebut tahu apa yang harus dilakukan, tahu apa yang dituju, paham tentang visi dan misi organisasi, atau tahu persis target yang hendak direalisasikan. Namun memastikan sebuah organisasi berjalan efektif terutama adalah tugas seorang pemimpin.

Dalam organisasi, Pemimpin dan Pimpinan dapat bersatu dalam satu pribadi. Sengaja dua hal ini dibedakan karena ada beberapa perbedaan di antara keduanya. Pimpinan adalah jabatan formal dalam organisasi dan seorang pimpinan membutuhkan legitimasi dan pengakuan; sementara Pemimpin bukanlah jabatan formal dan tidak membutuhkan legitimasi. Dalam organisasi, seorang pimpinan seringkali adalah pemimpin juga, namun untuk menjadi pemimpin tidak harus menjadi pimpinan. Seorang pegawai pelaksana di suatu kantor yang punya pengaruh secara positif kepada para pegawai lainnya untuk mencapai sasaran bersama, ia dapat disebut pemimpin, meskipun secara formal bukan berada di jabatan pimpinan.

Dalam organisasi, sebagaimana diungkap oleh John C Maxwell dalam buku Leadership 360, seseorang dapat mengembangkan pengaruhnya dari posisi mana pun untuk mengarahkan organisasi mencapai tujuannya. Seringkali mereka adalah para pegawai yang efektif, entah dia seorang pimpinan atau bukan.

Seorang pimpinan (manajer) memastikan organisasi melakukan sesuatu dengan benar; dengan kata lain pimpinan memastikan orang-orangnya memiliki daya tahan kinerja tinggi sekaligus efisien dalam bekerja. Sementara pemimpin (leader) memastikan organisasi melakukan apa yang benar; dengan kata lain pemimpin memastikan orang-orang bekerja efektif. Pimpinan yang berjiwa pemimpin (leader) adalah aset paling berharga suatu organisasi.

Entah pimpinan ataupun pelaksana dalam suatu instansi, kepemimpinan yang dimilikinya akan mengarahkan instansi tersebut untuk bergerak efektif mencapai visi dan misi instansi (memanah) dan mampu menggerakkan orang-orang kuat (perenang) dan orang-orang berkinerja tinggi (ahli berkuda) di dalamnya. Tak dapat ditawar lagi, untuk menjadi pegawai yang patut diperhitungkan organisasi, ia haruslah kuat (punya durabilitas), cepat (efisien), dan tepat (efektif). Saya berharap, Anda yang membaca tulisan ini adalah salah satunya.

Bandar Lampung, 31 Desember 2019

=============================

Lampiran: (Kisah tentang kecepatan yang tidak tepat sasaran)

BAMBUNG DAN PERCEPATAN MOBILNYA https://m.facebook.com/photo.php?fbid=10203005550159519&id=1227515948&set=a.10201262060533368

Jangan Konyol

Siang itu, di salah satu ruang tunggu Bandara Soeta, terjadi kekacauan. Para penumpang berteriak-teriak sambil merusak apapun yang ada di depannya. Kursi-kursi ditendang. Rak charger digulingkan. TV layar datar dijatuhkan. Kondisi siang itu sangat berantakan.

Beberapa menit sebelumnya, petugas maskapai memberi tahu bahwa pilot yang seharusnya menerbangkan pesawat Boeing 777 tiba-tiba jatuh sakit. Alasan itu dianggap tidak masuk akal oleh para penumpang karena jika demikian keadaannya kenapa tidak diberitahukan sebelumnya, padahal jadwal take off sudah tertunda 2 jam. Anehnya, menurut salah satu penumpang yang murka, kenapa tak ada pilot pengganti? Belakangan petugas memberi tahu pilot pengganti terdekat membutuhkan 5 jam untuk sampai di bandara. Info ini semakin aneh didengar oleh para penumpang yang mulai kalap. Semua itu memicu sikap anarkis para penumpang.

Kini ruang tunggu bagaikan stadion rusak yang hancur gara-gara tawuran antar supporter sepakbola. Sobekan-sobekan koran dan majalah di mana-mana. Sampah-sampah sisa makanan sengaja diserakan. Seorang penumpang yang bakat provokator mulai membakar kertas-kertas dengan korek api yang berhasil lolos dan tidak disita petugas.

“Berangkatkan kami sekarang juga!” teriak seseorang. Teriakan ini disambut pekikan kemarahan yang lainnya. Seseorang berteriak, “Kalau tidak berangkat sekarang, kita hancurkan bandara!” Kekacauan semakin merajalela.

Di tengah huru-hara yang mengkhawatirkan itu, tiba-tiba muncul seseorang lelaki berbaju jingga. Perawakannya biasa saja, umurnya setengah baya, namun teriakannya lumayan lantang. “Diam kalian semua!” teriaknya, “aku akan jadi pilotnya! Pesawat akan segera berangkat!”

Nama orang ini Pak Markentir. Dia adalah petugas cleaning service yang baik hati. Hidupnya jujur dan tak pernah menyakiti siapapun. Dia rajin ibadah dan tak pernah mencela. Di kalangan rekan-rekan cleaning service, dia dikenal sebagai orang tua yang ikhlas. Kepada beliau inilah sekarang tanggung jawab penerbangan ini dibebankan. Sungguh seorang sukarelawan yang berani berkorban, bukan?

Hanya dua penumpang di antara ratusan lainnya yang tahu profesi asli Pak Markentir. Saat semua orang sudah di kabin, termasuk mereka berdua, dua orang penjaga rahasia ini saling berdebat.

“Seharusnya kita nggak usah naik pesawat ini,” kata yang satu. “Aku nggak yakin Pak Markentir bisa menerbangkan pesawat ini.”

“Tenang saja kawan,” kata yang satu lagi. Kebetulan dia berprofesi sebagai motivator yang selalu optimis. “Kita positif thinking saja. Aku yakin Pak Markentir bisa kok. Dia itu orang baik. Tuhan pasti akan membantunya. Positif thinking saja… Itu.”

(Selesai)

========

Tambahan (dibaca hanya jika mau):

Positif Thinking (atau berpikir positif) itu penting. Dan karena penting, tak ada cara lain yang bisa menggantikannya. Positif thinking merupakan cara yang benar untuk menjalani hidup.

Namun dalam kehidupan, positif thinking perlu dilengkapi dengan hal-hal yang lain. Hanya modal positif thinking, belumlah cukup. Positif thinking tidak bisa melawan hukum alam, misalnya gravitasi. Jika seseorang jatuh dari jembatan, positif thinking tidak bisa menahan laju tubuhnya saat jatuh ke sungai. Jika seseorang ngebut di jalan raya mengendarai motor, dengan hanya modal positif thinking namun tidak pakai helm, itu tidak menghindarkannya dari potensi bahaya. Selain harus positif thinking, seorang penerjun juga harus siap dengan parasut. Jangan konyol.

Positif thinking perlu dilengkapi dengan hal-hal lain, di antaranya keterampilan menjaga diri, ilmu pengetahuan, kewaspadaan atas potensi bahaya, mitigasi risiko, pengaturan strategi, pengumpulan database, pembangunan sistem yang efisien, peralatan yang mendukung keselamatan, perencanaan yang matang, dan banyak hal lainnya.

Semua hal lain itu sama sekali tidak mengurangi arti penting positif thinking, justru malah melengkapinya. Itu saja.

Hakim SB Mulyono

Remaja Kehilangan Figur Ayah?

Baca sampai tuntas agar tidak salah menyimpulkan.

***Awal Kutipan***

Beberapa Karakter Remaja Akibat Kehilangan Figur Ayah di Rumah

Sumber: Ummi-online (bukan majalah Ummi versi cetak)

Ayah adalah sosok pemimpin dalam keluarga. Ketidakhadirannya bisa memengaruhi anggota keluarga yang lain termasuk karakter anak dalam fase remaja.

Bagaimana karakter remaja yang kehilangan sosok ayah di rumah? Simak ulasannya berikut ini.

1.Tersesat oleh figuritas

Remaja yang tidak mengenal sosok ayahnya karena sering tidak ada di rumah, akan mempelajari peran ayah dari orang lain. Kalo ibu bisa memberikan pemahaman yang baik tentang sosok ayah mereka, itu bagus. Tapi, kalau tidak, mereka akan menciptakan sosok ayah bayangan yang bisa saja negatif. Mereka yang tidak mengenal sosok ayah akan mencari figur ayah yang bisa ditiru di luar. Nah, ini yang bahaya karena bisa saja figur itu mereka temukan pada orang-orang yang punya maksud tidak baik dan malah menjerumuskan remaja menjadi pemberontak, melawan hukum, atau perbuatan negatif lainnya.

2.Tidak bisa membangun pertemanan

Kondisi masyarakat sekarang penuh dengan kekerasan dan berbagai macam konflik dan emosi. Ketidakhadiran ayah di rumah, membuat remaja bingung dan tidak mengerti harus melakukan apa pada situasi tersebut. Ditambah lagi, kehilangan sosok ayah yang seharusnya bisa membangun suasana dinamis di rumah, membuat seorang remaja menjadi cenderung pendiam dan kurang bisa bersosialisasi. Akibatnya, mereka akan gamang, sulit berkomunikasi dengan orang lain, dan akan sulit pula membangun hubungan di luar rumah.

3.Pribadi yang mudah takut atau trauma

Tidak adanya sosok ayah di rumah, bisa menimbulkan berbagai persepsi pada remaja. Bisa saja mereka merasa dirinya tidak berarti, terabaikan, atau merasa bersalah. Perasaan ini bisa terbawa sampai dewasa. Mereka yang nggak bisa move on dari pikiran itu dan takut merasakan pengabaian, akan takut juga untuk menjalin hubungan, menunjukkan perasaan, atau terlalu bergantung pada orang demi menghindari penolakan.

4.Memperburuk psikologis

Remaja yang diremehkan dan secara emosi tidak diakui oleh ayah, karena ketidakhadirannya, bisa menderita berbagai macam penyakit psikologis seperti depresi kronis, harga diri menciut, dan tidak mampu mengambil keputusan. Mereka cenderung akan mencari pengakuan akan diri mereka, tapi, terlalu takut mengalami penolakan sehingga tidak berani membela diri. Remaja akan terombang-ambing di antara dua kondisi ekstrem, “perilaku penyendiri” atau “ingin mendapatkan kedekatan instan”. Penuh rasa curiga atau pengkhianatan, dan mengidolakan atau menguasai orang lain.

5.Remaja laki-laki menjadi gemulai, yang perempuan terseret pergaulan bebas

Ayah yang tidak hadir dalam keluarga, bisa membuat waktu remaja terutama laki-laki habis dengan ibu nya. Hal itu memang baik, tapi, kalau menjadi kebiasaan, dalam pikiran seorang remaja laki-laki akan tertanam karakter lemah lembut seorang perempuan tanpa diimbangi pemikiran tentang harus kokoh dan kuatnya seorang laki-laki. Mereka kehilangan waktu untuk belajar pada ayahnya soal jati diri seorang laki-laki. Ini bahayanya yang bisa mendorong banyaknya generasi laki-laki tapi, gemulai.

Bagi remaja perempuan, akan lebih berbahaya. Karena kehilangan sosok ayah di rumah, membuat dia kehilangan sosok pelindung. Seorang remaja perempuan yang pasti haus akan kasih sayang, akan mencari sosok itu pada orang lain. Nah, remaja perempuan yang terjerumus pada hubungan yang salah seperti pacaran, akan mencari pelampiasan kasih sayang yang salah, misalnya rela melakukan apa saja untuk pacarnya termasuk terjerumus pada pergaulan bebas.

Na’udzubillah.

***Akhir Kutipan***

Tanggapan kritis atas tulisan di atas:

1. Tersesat oleh figuritas?

Benarkah “remaja yang tidak mengenal sosok ayahnya karena sering tidak ada di rumah, akan mempelajari peran ayah dari orang lain?” BELUM TENTU! Benarkah “kalo ibu tidak bisa memberikan pemahaman yang baik tentang sosok ayah mereka, itu akan menciptakan sosok ayah bayangan yang bisa saja negatif?” BELUM TENTU! Benarkah “mereka yang tidak mengenal sosok ayah akan mencari figur ayah yang bisa ditiru di luar?” BELUM TENTU!

Tampaknya penulis artikel di atas belum membaca kisah Rasulullah SAW yang tidak mengenal sosok ayahnya namun justru berkembang menjadi pribadi yang tangguh, gigih, gesit, dan positif. Penulis merasa yakin dengan apa yang ditulisnya, seakan-akan teorinya (kalau memang bisa disebut teori) benar dan pasti. Metode apa yang dilakukan oleh penulisnya sampai bisa memastikan ini dan itu? Tampaknya penulis begitu yakin dengan ulasannya yang didasarkan hanya pada asumsinya belaka. Ulasan-ulasan berikutnya memperkuat bukti ini.

2.Tidak bisa membangun pertemanan?

“Kondisi masyarakat sekarang penuh dengan kekerasan dan berbagai macam konflik dan emosi.” Benarkah? Pastikah? Sepertinya paradigma penulis yang muncul di sini, bukan kenyataan secara umum. Pandangan penulis terhadap kehidupan begitu naif, hanya melihat hitam dan putih. Penuh? Apa buktinya penuh? Sebuah opini dangkal yang dipaksakan!

“Ketidakhadiran ayah di rumah, membuat remaja bingung dan tidak mengerti harus melakukan apa pada situasi tersebut.” Benarkah? Pernahkah penulis melakukan survey untuk membuktikan kesimpulannya? Ataukah ini hanya kesimpulan berdasarkan imajinasi liar penulis saja? Tidak pernahkah dia membaca kisah tentang anak-anak yang bangkit dari keterpurukan dan menjadi tokoh penting sejarah?

“Kehilangan sosok ayah yang seharusnya bisa membangun suasana dinamis di rumah, membuat seorang remaja menjadi cenderung pendiam dan kurang bisa bersosialisasi.” Benarkah? Bagaimana dengan anak-anak yatim? Sudahkah penulis mempertimbangkan bagaimana jika dia terlahir sebagai anak yatim? Akankah dia masih berpendapat sama jika dia sendiri kehilangan sosok ayahnya sejak kecil?

“Akibatnya, mereka akan gamang, sulit berkomunikasi dengan orang lain, dan akan sulit pula membangun hubungan di luar rumah.” Benarkah? Jika premisnya saja kacau, bagaimana mungkin konklusi penulis tidak akan kacau? Jika sebabnya hasil imajinasi, akibatnya juga hasil imajinasi.

3.Pribadi yang mudah takut atau trauma?

“Tidak adanya sosok ayah di rumah, bisa menimbulkan berbagai persepsi pada remaja. Bisa saja mereka merasa dirinya tidak berarti, terabaikan, atau merasa bersalah.” Benarkah? Apakah Rasulullah juga merasa dirinya tidak berarti, terabaikan, atau merasa bersalah? Bukankah Rasulullah mendapati tidak adanya sosok ayah di rumahnya?

“Perasaan ini bisa terbawa sampai dewasa.” Benarkah? Sepertinya penulis percaya bahwa situasi masa lalu itu permanen dan menjadi parameter masa depan seseorang. Penulis yang tidak percaya bahwa manusia bisa mengembangkan dirinya dan mengubah masa depan dengan tidak dihantui masa lalunya, pastilah tulisannya akan cacat secara paradigma.

4.Memperburuk psikologis?

Kalimat “memperburuk psikologis” itu mensyaratkan sebuah kondisi “buruk psikologis”. Jadi penulis mengasumsikan bahwa semua anak itu pada dasarnya “buruk psikologis” dan ketidakhadiran ayah akan “memperburuk psikologis”. Sebuah sub judul yang menjelaskan di mana kedudukan penulis di bidang penulisan ilmiah.

Ditambah pula kalimat penulis: “Remaja yang diremehkan dan secara emosi tidak diakui oleh ayah, karena ketidakhadirannya,…” di sini dia mengasumsikan bahwa ketidakhadiran sang ayah setara dengan meremehkan dan tidak adanya pengakuan terhadap anak. Gawat sekali tingkat kecacatan paradigma penulis.

5.Remaja laki-laki menjadi gemulai, yang perempuan terseret pergaulan bebas?

Keseluruhan kalimat penulis yang menjelaskan bagian ini hanyalah omong kosong yang tidak memiliki dasar ilmiah. Pernyataan pendek penulis pada bagian ini sangat menyederhanakan masalah dan jauh dari argumen yang ilmiah.

“Na’udzubillah”… Kalimat ini adalah kalimat baik, yang seharusnya dinyatakan untuk meminta pertolongan Tuhan terhadap kejadian yang tak ingin kita alami. Namun kalimat ini dijadikan penutup oleh penulis seakan-akan untuk memperkuat integritasnya agar pembaca percaya dengan seluruh opininya. Seakan kalimat ini menjadi garansi bahwa penulis memiliki kapasitas dan kredibilitas untuk menulis tentang ketidakhadiran ayah dalam korelasinya dengan karakter anak.

Penulis hanya fokus pada hal-hal negatif tentang ketidakhadiran ayah bagi anaknya dan sama sekali tidak mengangkat opini tentang kemungkinan lain, seakan-akan hanya sudut pandangan itulah satu-satunya di dunia ini. Alih-alih menjadi sebuah tulisan inspiratif, tulisan ini hanya menjadi penjara bagi kebenaran atau opini berimbang. Jika sejak awal penulis dengan sengaja hanya menampilkan sisi negatifnya, maka dengan sengaja dia berniat menyesatkan pembaca ke arah satu-satunya paradigma, yaitu paradigma penulis sendiri. Dalam penulisan ilmiah, ini masuk dalam kategori cacat paradigma. Dalam kacamata prinsip, ini disebut sesat pikiran. Sayangnya, dengan modal cacat paradigma dan sesat pikiran itulah tulisan ini diunggah di internet, dibaca banyak orang, dan dibagikan di media sosial. Akibatnya, bukan hanya penulis seorang diri yang sesat pikiran melainkan berpotensi menyesatkan banyak orang yang percaya dan menelan mentah-mentah opini pribadinya tersebut.

Na’udzubillah… Saya berlindung kepada Allah SWT dari penulis yang sedemikian. Tidak menyadari sesat berpikirnya dan tidak sadar bahwa tulisannya bisa saja menyesatkan lebih banyak orang selain dirinya.

Selamatkan Kapal Negeri Ini

Kita semua mengutuk aksi teror bom bunuh diri yang menewaskan banyak korban. Mayat pelakunya bahkan tidak diterima dikuburkan di tempat asalnya yang menunjukkan bahwa masyarakat menolak paham radikalisme yang dianut pelakunya. Namun nasi sudah menjadi bubur. Saat ini, yang perlu diwaspadai adalah efek samping dari kejadian ini. Efek samping yang paling terasa, karena pelakunya ber-KTP muslim, adalah munculnya stigma negatif terhadap Islam.

Meskipun Islam sangat mengutuk aksi tersebut, efek samping tersebut terlanjur merembes ke benak sebagian orang awam. Untuk itulah, seluruh muslim di negeri ini perlu mendukung upaya pemerintah untuk memberangus paham berbahaya tersebut, yakni paham radikalisme dan terorisme dari sekte-sekte sempalan yang mengatasnamakan Islam. Seiring dengan itu, muslim tidak perlu mencurigai saudaranya sesama muslim hanya karena ia berjenggot atau beratribut mirip pelaku bom bunuh diri. Tidak semua orang berjenggot berpaham radikal.

“Bersikap adillah sejak dalam pikiran.”

― Pramoedya Ananta Toer

Efek samping yang lain adalah adanya oknum-oknum yang menggunakan peristiwa ini untuk tujuan politik. Bagi partisan yang diam-diam menyetujui atau setidaknya tidak mengutuk aksi teror tsb, yang dengan demikian mereka tanpa sadar turut menyuburkan paham radikalisme, kejadian tsb bisa dimanfaatkan untuk menyerang pemerintahan yang sah dengan dalih aparat pemerintah teledor dalam mengantisipasi kejadian. Mereka menggunakan kejadian tsb sebagai alat kampanye untuk memuluskan niatnya merebut kekuasaan. Mereka mungkin bukan pelaku bom bunuh diri, mereka mungkin tidak berafiliasi dengan terorisme, namun apa yang mereka lakukan sama saja menyetujui terjadinya aksi teror bom bunuh diri.

Di sisi lain, kelompok yang dibutakan oleh fanatisme buta terhadap partai tertentu juga bisa memanfaatkan kejadian tsb untuk menyerang kelompok lain yang berseberangan secara politik dengannya. Misalnya, ia asal menuduh kelompok tertentu sebagai antek terorisme. Pada titik ini, aksi terorisme telah berhasil menciptakan kondisi disintegrasi, saling serang, dan mengancam persatuan. Parahnya, kejadian ini bisa dimanfaatkan oleh kalangan tertentu untuk memberangus kegiatan dakwah muslim secara umum yang notabene dakwah tersebut aman, tidak menganjurkan kekerasan, dan bahkan mengutuk aksi teror.

Bom bunuh diri harus dikutuk. Pelakunya harus dikutuk. Otak di balik aksi tsb harus ditangkap dan dihukum. Paham radikalisme harus dipadamkan dan disingkirkan dari negeri ini. Dan sejalan dengan prosesnya, penduduk negeri ini perlu bersatu lagi, tidak saling mencurigai, tidak mengambil manfaat dari kejadian tsb untuk tujuan politik, dan tetap perlu waspada terhadap segala kemungkinan terjadinya kejadian serupa di masa depan.

Masa tergelap di malam hari adalah saat menjelang fajar. Semoga kejadian ini justru menumbuhkan semangat nasionalisme di benak masing-masing warga negeri ini. Sebab di tengah kapal yang bocor, seluruh penumpang terancam tenggelam. Alih-alih saling curiga, mari kita selamatkan kapal negeri ini dengan saling bergandengan tangan menambal kebocoran kapal dan tak lupa menangkap orang yang membocorkan kapal atau yang punya rencana membocorkannya diam-diam.

feri

***

Lagu pengiring: https://m.soundcloud.com/madhum-2/franky-s-perahu-retak

Orang Bebal (pendahuluan)

Orang bebal berbeda dengan orang bodoh. Orang bodoh masih dimungkinkan menyadari kebodohannya. Sementara orang bebal sama sekali tidak menyadari kebodohannya. Bahkan bisa jadi ia sengaja tak mau mengakui bahwa dirinya bodoh dalam hal tertentu. Bahwa setiap orang tidak mungkin pandai dalam segala hal adalah fakta, namun bagi orang bebal itu tak berlaku untuk dirinya; mereka meyakini bahwa dirinya pandai dalam segala hal dan keyakinan tersebut membuatnya sulit menerima pendapat atau kebenaran yang datangnya dari luar dirinya, itulah yang membuatnya menjadi bebal. Orang bebal memiliki seperangkat keyakinan yang dipegangnya dengan teguh, entah dia tahu itu salah ataupun tidak. Itulah kenapa orang bebal dikenal pula dengan julukan keras kepala.

Orang bebal bukan berarti bodoh atau tidak pandai. Memang ada hal-hal bodoh dari dirinya, yang secara sadar tidak diakuinya, namun ia juga memiliki kepandaian. Biasanya orang bebal pandai dalam satu atau dua hal spesial. Kepandaian spesialis itu ia yakini dan lantas membentuk kepercayaan dirinya. Orang bebal menyadari bahwa dirinya pandai, namun mereka melampaui batasannya, mereka meyakini bahwa dirinya pandai dalam segala hal. Itulah pondasi awal sikap bebalnya.

Karena merasa pandai dalam segala hal, ia pun sulit menerima kebenaran dari pihak lain. Selain ia punya asumsi untuk segala hal, ia juga punya jalan pikirannya sendiri, ia punya logikanya sendiri, yang memotivasi dirinya untuk berbeda dengan yang lainnya. Orang bebal merasa telah sempurna sehingga sulit dikembangkan atau berubah. Itulah kenapa orang bebal sulit mendengar dengan aktif melainkan ia hanya mendengar apa yang ingin ia dengar untuk semakin menguatkan apa yang diyakininya. Pada titik ini, orang bebal bisa menjadi pribadi yang berbahaya.

Orang bebal bisa membahayakan komunitas jika dengan kebebalannya ia bukan hanya tidak mau menerima masukan namun juga ia akan berusaha memaksakan pendapatnya kepada pihak manapun. Selain tidak suka mengakui kelemahannya sendiri, orang bebal juga senang menemukan kesalahan orang lain. Ia merasa dirinya yang paling benar, dan merasa kebenaran yang diyakininya itu telah final, tak mungkin lagi diubah.

Sifat keras kepala orang bebal akan menyulitkan kerja tim. Dalam suatu kerja tim, satu orang bebal akan bisa merusak kinerja tim. Bukan hanya itu saja, jika ia punya pengaruh maka seluruh anggota tim tersebut akan tertular sehingga menjadi tim yang bebal. Penularan sifat bebal ini terjadi jika ia memiliki otoritas untuk memaksakan pendapatnya kepada anggota tim.

menghadapi-orang-bebal

Orang bebal memiliki ciri khas sulit untuk digerakkan. Motivasi dalam bentuk apapun akan sia-sia untuk mereka. Itulah kenapa, orang bebal cenderung menjadi pribadi pemberontak. Jika ia tak memiliki kekuasaan, pemberontakannya akan dilakukannya diam-diam dengan tidak menaati aturan; dan jika ia memiliki kekuasaan, ia benar-benar akan menjadi pemberontak yang efektif. Dibutuhkan kualitas kebebalan tingkat tinggi untuk menahan pedihnya rasa sakit dalam pemberontakan.

Orang bebal bisa menjadi bebal karena beberapa alasan. Salah satu alasan terkuat adalah masa lalunya. Orang bebal biasanya memiliki masa lalu sulit, nestapa, sengsara yang membuatnya harus mengabaikan kenyataan hidup. Pengabaiannya terhadap realitasnya di masa lalu membuatnya mengabaikan realitas yang kini dihadapinya. Ia menafikkan kenyataan hidupnya yang pahit dengan menjadi bebal. Orang bebal menyangkal kenyataan hidupnya. Itulah kenapa ia menjadi pribadi yang sulit diubah.

(bersambung)

Dua Film Fiksi Tentang Melampaui Efektivitas

media-20170416

Sebagian besar dari film yang bagus akan terselip di dalamnya pesan moral untuk direnungkan penontonnya, tak terkecuali film Equilibrium (2002) dan Oblivion (2013).

Dalam film Equilibrium, keberagaman dianggap sebagai musuh dari penyeragaman. Film ini secara jelas menggambarkan bahwa penyeragaman dianggap lebih efektif dibandingkan keberagaman.

Sementara dalam film Oblivion, inovasi dianggap sebagai musuh dari upaya fokus pada tujuan. Film ini secara jelas menggambarkan bahwa fokus pada tujuan dianggap lebih efektif dibandingkan inovasi.

Efektivitas adalah tema sentral dari kedua film tersebut. Namun pada ujungnya, kedua film ini justru mempertanyakan ulang anggapan-anggapan tersebut.

Kedua film ini dibagi dalam dua bagian. Pada bagian awal, baik film Equilibrium maupun Oblivion, keduanya sama-sama menceritakan tentang seorang tokoh yang menjalankan prinsip-prinsip dalam hidupnya, sehingga ia menjadi pribadi yang efektif.

Sang tokoh digambarkan sebagai pribadi yang bisa dikatakan telah menerapkan prinsip-prinsip efektivitas sebagaimana yang ditulis Stephen Covey dalam buku The 7 Habits of Highly Effective People. Buku ini terkenal dengan sebutan Buku 7 Kebiasaan.

Sementara pada bagian kedua, baik film Equilibrium maupun Oblivion, keduanya sama-sama menceritakan tentang perubahan sang tokoh dari pribadi efektif menjadi pribadi yang luhur.

Sang tokoh digambarkan sebagai pribadi yang bisa dikatakan telah melampaui efektivitas dan berubah menjadi pribadi yang menerapkan prinsip-prinsip keluhuran sebagaimana yang ditulis Stephen Covey dalam buku The 8th Habit: From Effectiveness to Greatness. Buku ini terkenal dengan Buku Kebiasaan Ke-8.

Dua film ini, secara menarik, mengajarkan kepada kita bahwa menjadi efektif saja tidaklah cukup.

Selain efektif, seseorang perlu untuk menjadi luhur, terhormat, mulia, bijak, yang dirangkum dalam kata Berjiwa Besar (Greatness). Sebab dengan efektivitas, seseorang hanya akan bisa mengubah dirinya sendiri menjadi orang sukses.

Namun dengan keluhuran, seseorang dimungkinkan untuk mengubah lingkungannya menjadi sukses. Dalam konteks buku Stephen Covey, kondisi tersebut tercermin dalam ungkapan sederhananya: “Find your voice, and inspire others to find their voice.”

***

Itulah kenapa seseorang yang berkinerja tinggi, yang efektif sekaligus efisien, belumlah lengkap jika tidak memiliki jiwa besar; yang salah satunya tercermin dari sikap memanusiakan manusia.

***

Anda mungkin akan menemukan apa yang saya maksudkan di atas dengan menonton dua film tersebut tanpa harus membaca bukunya. Namun maksud itu tidak akan sepenuhnya Anda tangkap jika Anda belum membaca dua buku yang disebut di atas.

Namun terkadang harus diakui bahwa membaca buku memang lebih memberatkan dibandingkan menonton film.

 

Kebiasaan Ke-8

Efek paling berbahaya dari menjadi pribadi yang sangat efektif adalah sirnanya sisi kemanusiaan. Itulah kenapa Mr Covey merasa perlu menulis buku “kebiasaan ke-8”

Stephen Covey pernah menulis buku berjudul “The 7 Habits of Highly Effective People” atau dikenal dengan Buku 7 Kebiasaan. Dalam buku tsb, Mr Covey menjelaskan tentang 7 kebiasaan yang bisa mengubah seseorang menjadi pribadi yang sangat efektif. Menurutnya, menjadi efektif bukanlah hal yang bisa ditawar-tawar karena efektivitas adalah harga yang memang harus dibayar untuk bisa bertahan dan beradaptasi di Era Informasi. Namun begitu, efektif saja belum cukup, sebab jika ukurannya hanya efektivitas maka robot bisa lebih efektif dibanding manusia. Sebagaimana robot, pribadi yang sangat efektif, yang fokusnya hanya pada pencapaian tujuan, mungkin saja akan mengabaikan sisi kemanusiaan atau bahkan kehilangan sisi kemanusiaan. Itulah efek samping; ia memang tidak selalu terjadi namun mungkin terjadi; dan seandainya terjadi maka ia akan menjadi efek paling berbahaya. Itulah kenapa Mr Covey kemudian menulis satu buku lagi untuk menyadarkan pembacanya agar melampaui efektivitas. Buku yang disebut terakhir itu berjudul “The 8th Habit: From Effectiveness to Greatness” atau dikenal dengan Buku Kebiasaan Ke-8.

Era Berlimpah Informasi

Di dunia di mana informasi berserakan dan mudah didapatkan oleh siapapun, keunikan seseorang bukan lagi ditentukan oleh berapa banyak informasi yang bisa didapatkan atau dibagikannya, sebab kini siapapun bisa melakukannya dengan mudah; artinya hal tersebut bukan lagi keunikan. Bukan juga ditentukan oleh berapa banyak jumlah orang yang menyukai tulisan atau karya seseorang, sebab media bisa mengorbitkan atau menenggelamkan tulisan atau karya seseorang; artinya kepopuleran bukan lagi lantaran tulisan atau murni karena karya itu sendiri.

Di dunia di mana informasi mudah disalin dan ditulis ulang (seperti kalimat dalam tulisan ini), siapapun kini bisa menulis sesuatu dari apa yang telah didapatkannya. Di dunia di mana keyboard bisa diketik sambil tiduran, kepandaian menulis bukan lagi keunikan melainkan hanya satu hal. Kesadaran pikiran yang mendasari apa yang ditulis adalah hal lain yang berbeda.

Di dunia keterbukaan informasi ini, sebaiknya jangan mudah kaget dan jangan mudah heran. Ojo kagetan. Ojo nggumunan.

Saat ini, informasi dengan mudah didapatkan oleh siapa saja. Informasi telah berada di ujung jari. Nyaris setiap orang bisa berbagi informasi apapun. Mulai dari yang penting hingga yang tak berguna. Mulai dari sampah hingga mutiara. Dan, setiap orang bisa mengkonfirmasi ulang kebenaran informasi yang dia terima.

Kini nyaris tak ada lagi yang benar-benar bisa dirahasiakan. Mulai dari rahasia bisnis hingga sulap. Rahasia menu makanan hingga cara perakitan kapal. Kini pintu informasi telah terbuka dan rahasia menjadi kosakata yang semakin langka.

Di era informasi, keunggulan seseorang tidak lagi ditentukan oleh sebanyak apa informasi yang dia dapat dan bagikan.

Di era ini, keunggulan seseorang ditentukan oleh kemampuannya merangkai berbagai kepingan puzzle informasi yang berserakan menjadi satu gambar besar yang utuh dan menyeluruh namun ringkas dan sederhana. Siapa yang lebih dulu mampu menemukan benang merah yang mengaitkan berbagai informasi menjadi satu konklusi, dialah yang unggul dan berpotensi memenangkan kompetisi.