Berenang, Memanah dan Berkuda Dalam Organisasi

“Ajari anak-anakmu berenang, memanah, dan naik kuda,” demikian kata Umar bin Khattab, tokoh Islam yang namanya tercantum di dalam buku 100 Tokoh Paling Berpengaruh di Dunia Sepanjang Sejarah karya Michael H. Hart. Berenang, memanah, dan berkuda adalah tiga aktivitas yang membutuhkan konsentrasi. Berenang adalah aktivitas yang memang disukai anak-anak. Jika dulu latihan memanah hanya dilakukan oleh atlet panahan, kini sudah banyak masyarakat umum yang memiliki alat panah dan bermain panah. Kini memanah telah menjadi semacam trend permainan pengisi waktu dewasa ini. Berkuda pun demikian. Sebagian negara juga memiliki satuan polisi berkuda. Dapat dikatakan bahwa berenang, memanah, dan berkuda adalah tiga aktivitas yang sejak dulu hingga kini tetap relevan dengan semua zaman.

Sementara Ali bin Abi Thalib, juga seorang tokoh Islam, pernah berkata, “Didiklah anak-anakmu sesuai dengan zamannya, karena mereka hidup bukan di zamanmu.” Dengan kalimat tersebut, Ali hendak mengingatkan bahwa tidak semua zaman memiliki karakteristik yang sama, bahwa perubahan yang mengiringi zaman adalah keniscayaan.

Meskipun berenang, memanah dan berkuda akan senantiasa relevan dengan semua zaman, di tulisan ini tiga hal tersebut akan dicoba untuk diambil substansinya, dilihat dari makna filosofisnya dan kemudian ditawarkan sebagai tiga hal yang mungkin bermanfaat jika diterapkan ke dalam manajemen kontemporer.

Manajemen terutama berurusan dengan manusia. Aset terbesar dari organisasi bukanlah gedung dan sarana prasarananya, melainkan manusianya. Organisasi yang kuat digerakkan oleh orang-orang yang kuat, yang secara makna dapat dikatakan sebagai orang-orang yang memiliki daya tahan (durabilitas) terhadap tekanan kerja dan tuntutan zaman. Dan mengembangkan daya tahan adalah substansi dari berenang.

Selain sebagai cabang olahraga yang dilombakan, banyak pakar kesehatan menyetujui bahwa aktivitas berenang sangat bermanfaat untuk menjaga daya tahan seseorang. Substansi inilah yang sangat diperlukan organisasi mana pun: daya tahan. Anjuran Umar bin Khattab agar kita mengajarkan anak-anak berenang, selain berarti bahwa kita perlu melatihnya berenang secara harfiah, secara makna juga berarti bahwa kita perlu mengajarkan anak-anak bagaimana melatih daya tahan mental dan pikirannya. Hanya mereka yang memiliki cukup daya tahan yang akan berdiri tegak dan melaju di tengah perubahan zaman. Dan orang-orang berkualitas seperti ini sangat dibutuhkan organisasi.

Organisasi juga membutuhkan orang-orang yang memiliki kekuatan bukan hanya tubuhnya namun juga intelektual dan mentalnya. Selain membangun daya tahan (durabilitas), kekuatan juga merupakan kata kunci dari berenang. Organisasi yang orang-orangnya bermental “perenang” dapat dikatakan memiliki asset terbaik berupa orang-orang yang kuat.

Namun memiliki orang-orang yang “kuat” saja tidaklah cukup. Organisasi mana pun, baik komersil maupun non-komersil, membutuhkan orang-orang yang cepat dalam bekerja. Kini kecepatan sudah menjadi bagian tak terpisahkan dari zaman ini, yakni zaman informasi. Pegawai yang “kuat” namun tidak dapat bergerak dengan cepat, dalam artian ia bekerja lamban dan kurang produktif, akan terseleksi dengan sendirinya dan organisasi modern dewasa ini dengan mudah akan dapat menandai orang-orang semacam ini. Kekuatan memang perlu, namun itu tidak cukup; bahkan tidak berguna jika tidak memiliki kecepatan. Itulah gunanya berkuda.

Makna filosofis dari berkuda adalah tentang kecepatan. Seseorang yang bergerak maju dengan menaiki kuda akan lebih cepat sampai di tujuan dibandingkan orang lain yang berjalan kaki. Seseorang yang melaju dengan kendaraan akan lebih cepat sampai tujuan dibandingkan pelari paling jagoan.

Berkuda adalah simbol dari penggunaan sarana untuk mempercepat mencapai tujuan. Dalam makna yang diperluas, seseorang yang mahir menggunakan alat bantu akan lebih efisien dalam mencapai tujuan dibandingkan yang hanya mengandalkan kekuatannya sendiri. “Kuda” itu bisa bermakna aplikasi, sarana teknologi informasi, dan hal apapun yang mempercepat kinerja pegawai untuk mencapai target organisasi. Efisiensi adalah kata kunci dari berkuda.

Perbandingan antara kekuatan dan kecepatan tergambar jelas dalam rumus Einstein tentang energi, yakni E=m.c2. Berdasar rumus ini, energi adalah perkalian antara materi dan kuadrat dari kecepatan cahaya. Materi (m) adalah simbol kekuatan. Sementara kecepatan cahaya (c) adalah simbol kecepatan. Besaran m dan c menentukan besaran E. Sebesar apapun kekuatan (m) jika kecepatannya (c) rendah, energi yang hasilkan akan kalah dibandingkan jika kecepatan (c) tinggi meskipun kekuatannya (m) tidak seberapa.

Untuk jelasnya kita ambil contoh. Contoh pertama, kekuatan besar (misal m=9) dikombinasikan dengan kecepatan rendah (misal c=2) maka E=9.2.2, hasilnya E=72. Contoh kedua kita balik, kekuatan kecil (m=2) dikombinasikan dengan kecepatan tinggi (c=9) maka E=2.9.9, hasilnya E=162. Artinya, pengaruh kecepatan jauh lebih signifikan menghasilkan energi (baca: output kinerja) dibandingkan pengaruh kekuatan. Dengan kata lain, yang cepat akan mengalahkan yang kuat namun lamban. Artinya, efisiensi lebih penting dibandingkan keahlian personal.

Organisasi yang efisien digerakkan oleh orang-orang efisien yang berada di dalamnya. Jika organisasi tersebut organisasi nirlaba sektor publik semisal kantor pelayanan, maka kantor pelayanan akan efisien jika para pegawai di dalamnya bekerja efisien dan bukan hanya mengandalkan kemampuan kerja pribadinya.

Namun kecepatan saja belumlah cukup. Sebab baik kuat maupun cepat adalah kualitas dasar yang tak bisa ditawar lagi di zaman sekarang. Kuat dan cepat adalah persyaratan minimal. Durabilitas dan efisiensi adalah sesuatu yang tak bisa ditawar di era informasi ini. Sejak awal, seleksi penerimaan calon pegawai untuk menjadi pegawai suatu instansi sudah memperhitungkan dua hal ini: kekuatan dan efisiensi. Namun sayangnya, dua hal tersebut belumlah cukup karena kinerja dari gabungan kekuatan dan efisiensi akan sia-sia jika tidak tepat sasaran.

Gabungan kekuatan dan kecepatan baru bermanfaat hanya jika diarahkan untuk mencapai sasaran organisasi. Keahlian personal (hard competency) dan efisiensi justru akan berbahaya bagi organisasi jika tidak mengarah pada visi dan misi organisasi.

Sebagaimana pernah diungkap oleh Stephen Covey melalui bukunya berjudul The 7 Habits of Hoghly Effective People, kecepatan kinerja yang tidak mengarah pada tujuan hanya akan mempercepat seseorang menemukan kegagalan; kecepatan yang tidak tepat sasaran dianalogikan seperti efisien dalam menaiki tiap anak tangga namun tangga tersebut bersandar pada dinding yang salah. Karena kesalahannya, orang yang naik tangga tersebut terpaksa harus turun kembali ke bawah (ke titik awal pekerjaannya dimulai) dan menyandarkan ke tangga yang tepat (memulai dari awal lagi); dan seluruh aktivitas ini meskipun di dalamnya ada unsur efisiensi namun hasilnya justru banyak membuang-buang waktu alias tidak efisien (karena harus dua kali kerja). Efisien yang tidak efektif akan merugikan pelakunya. Kecepatan barulah bermanfaat jika tepat sasaran. Itulah gunanya memanah.

Inti dari memanah adalah mengarahkan dan melejitkan anak panah tepat ke sasaran. Di dalam memanah juga ada kekuatan dan kecepatan, namun yang terpenting adalah filosofi tepat sasarannya. Secara simbolis, memanah adalah tentang fokus, berkonsentrasi, dan mengarahkan sesuatu tepat ke sasaran.

Setiap organisasi memiliki sasaran, apa yang disebut visi, misi, target, tujuan, dan lain sebagainya. Tidak penting sebanyak apa organisasi tersebut memiliki orang-orang kuat dan cepat, jika kinerja mereka semua tidak mengarah untuk mencapai tujuan organisasi, tidak merealisasikan apa yang ditargetkan, atau melenceng dari visi dan misi organisasi, maka semua kualitas dasar tersebut akan sia-sia. (Lihat lampiran untuk membaca kisah tentang tindakan efisien yang tidak efektif)

Efektivitas adalah kunci dari memanah. Organisasi dikatakan efektif jika seluruh elemen di dalam organisasi tersebut tahu apa yang harus dilakukan, tahu apa yang dituju, paham tentang visi dan misi organisasi, atau tahu persis target yang hendak direalisasikan. Namun memastikan sebuah organisasi berjalan efektif terutama adalah tugas seorang pemimpin.

Dalam organisasi, Pemimpin dan Pimpinan dapat bersatu dalam satu pribadi. Sengaja dua hal ini dibedakan karena ada beberapa perbedaan di antara keduanya. Pimpinan adalah jabatan formal dalam organisasi dan seorang pimpinan membutuhkan legitimasi dan pengakuan; sementara Pemimpin bukanlah jabatan formal dan tidak membutuhkan legitimasi. Dalam organisasi, seorang pimpinan seringkali adalah pemimpin juga, namun untuk menjadi pemimpin tidak harus menjadi pimpinan. Seorang pegawai pelaksana di suatu kantor yang punya pengaruh secara positif kepada para pegawai lainnya untuk mencapai sasaran bersama, ia dapat disebut pemimpin, meskipun secara formal bukan berada di jabatan pimpinan.

Dalam organisasi, sebagaimana diungkap oleh John C Maxwell dalam buku Leadership 360, seseorang dapat mengembangkan pengaruhnya dari posisi mana pun untuk mengarahkan organisasi mencapai tujuannya. Seringkali mereka adalah para pegawai yang efektif, entah dia seorang pimpinan atau bukan.

Seorang pimpinan (manajer) memastikan organisasi melakukan sesuatu dengan benar; dengan kata lain pimpinan memastikan orang-orangnya memiliki daya tahan kinerja tinggi sekaligus efisien dalam bekerja. Sementara pemimpin (leader) memastikan organisasi melakukan apa yang benar; dengan kata lain pemimpin memastikan orang-orang bekerja efektif. Pimpinan yang berjiwa pemimpin (leader) adalah aset paling berharga suatu organisasi.

Entah pimpinan ataupun pelaksana dalam suatu instansi, kepemimpinan yang dimilikinya akan mengarahkan instansi tersebut untuk bergerak efektif mencapai visi dan misi instansi (memanah) dan mampu menggerakkan orang-orang kuat (perenang) dan orang-orang berkinerja tinggi (ahli berkuda) di dalamnya. Tak dapat ditawar lagi, untuk menjadi pegawai yang patut diperhitungkan organisasi, ia haruslah kuat (punya durabilitas), cepat (efisien), dan tepat (efektif). Saya berharap, Anda yang membaca tulisan ini adalah salah satunya.

Bandar Lampung, 31 Desember 2019

=============================

Lampiran: (Kisah tentang kecepatan yang tidak tepat sasaran)

BAMBUNG DAN PERCEPATAN MOBILNYA https://m.facebook.com/photo.php?fbid=10203005550159519&id=1227515948&set=a.10201262060533368

Perjalanan Menuju Kampung di Seberang Gurun

12111919_10205301849885577_8611921986045291840_n

Terkadang sebuah perjalanan menjadi penting bukan hanya karena tujuannya, namun juga karena kemungkinan akan menjadi siapa seseorang dalam perjalanannya.

Seorang lelaki memutuskan untuk mengembara ke kampung lain yang letaknya di seberang gurun. Di kampungnya yang sekarang, dia tak menemukan jawaban memuaskan tentang kehidupan. Orang-orang di kampungnya tidak berpikir kecuali dalam satu di antara dua cara berpikir yang berseberangan. Para orang tua menganggap bahwa jiwa lebih mulia daripada raga. Sementara anak-anak muda menganggap bahwa raga lebih berharga daripada jiwa. Mungkin di kampung yang lain, di seberang gurun, dia akan menemukan jawabannya.

Kini dia sedang melintasi gurun pasir yang kering kerontang. Kantung minuman yang terbuat dari kulit domba, yang dia bawa sebagai bekal menahan dahaga, kini sudah mulai menipis isinya.

Di seperempat perjalanan, air itu habis sama sekali. Dia berjalan kehausan dengan kantung minuman kosong. Lalu suara itu terdengar.

“Apa yang bisa kau perbuat di tengah gurun dengan membawa-bawa kantung minuman kosong itu? Tak peduli seberapa bagus dan mahalnya kantung minumanmu itu, jika kosong tak ada airnya, kantung itu tak berguna bagimu.”

Dia tahu, memang tak ada gunanya membawa-bawa kantung itu lagi. Maka dia membuang kantung itu dan melanjutkan perjalanan.

Di tengah dahaga yang mulai mendera, dia meneruskan langkahnya dengan langkah-langkah bagaikan raga tanpa jiwa.

Hingga di pertengahan perjalanan, dia tiba di sebuah oasis dengan air yang melimpah. Dia minum sepuas-puasnya, sampai hilang semua dahaga. Lalu suara itu terdengar lagi.

“Apa yang bisa kau perbuat dengan air melimpah yang disediakan oasis ini jika kau sendiri tak bisa menyimpannya? Jika kau berhenti di sini kau akan mati kelaparan. Jika kau meneruskan perjalanan, maka tiadanya kantung minuman membuat air yang melimpah ini tiada artinya.”

Oasis ini berada di tengah jarak perjalanannya. Dia berpikir untuk kembali, tapi itu tak mengubah apapun. Dia berpikir untuk mencari kantung minumannya lagi, tapi itu akan membuang waktu sia-sia. Bukan hanya masalah jarak, yang mana bolak-baliknya sama dengan sisa perjalanannya, tapi juga masalah kantung itu sendiri, dia tak ingat di mana tadi telah membuangnya.

Maka dia memutuskan meneruskan langkahnya dengan langkah-langkah gontai bagaikan jiwa tanpa raga.

Di sisa perjalanannya yang tinggal seperempat lagi, dia berjuang menahan dahaga dan terus menyesali keputusannya yang gegabah. Dalam kondisi dahaga itu pikirannya mulai bekerja. Pikirannya terus bekerja dan mulai melihat makna. Suara-suara yang dia dengar tadi yang seakan berasal dari gurun, bisa jadi sebenarnya berasal dari suara hati nuraninya sendiri. Tiba-tiba, jawaban itu kini tersedia.

“Kantung minuman tanpa air tiada berguna. Air tanpa kantung minuman tiada artinya.”

Kini dia meneruskan sisa perjalanan dengan jiwa dan raganya.