Kisah Petualangan Sang Pemimpi

‘Sang Alkemis’ merupakan novel yang mengisahkan petualangan seorang penggembala domba bernama Santiago dalam usahanya mencari harta karun. Awalnya harta karun itu muncul di dalam mimpi. Santiago mengabaikannya sampai kemudian dia bertemu dengan seorang perempuan Gipsi, yang mampu menafsirkan mimpi, yang meyakinkan dia bahwa harta karun itu benar-benar ada.

Namun ia tak segera memutuskan untuk mencarinya sampai kemudian dia bertemu dengan seorang lelaki tua, yang mampu membaca pikiran manusia, yang membantunya memantapkan niat untuk bertualang mencari harta karun itu.

Berbekal uang dari hasil menjual semua dombanya, Santiago pergi meninggalkan Spanyol, menyeberangi selat Gibral Tar, melintasi gurun, dan melanglang buana menuju Mesir, tempat harta karun itu berada. Dalam petualangan itu, dia menemukan tempat-tempat baru untuk disinggahi dan berbagai pengalaman yang memperkaya batinnya.

Namun perjalanan Santiago untuk menemukan harta karun, atau perwujudan mimpinya itu, bukanlah sebuah perjalanan yang mudah. Banyak hal yang harus dialaminya: mulai dari kehilangan seluruh bekal uangnya, terpaksa harus bekerja sebagai pelayan di toko penjual kristal, berjumpa dengan ilmuwan Inggris kutu buku yang terobsesi mempelajari ilmu mistis, terjebak dalam kemelut perang saudara suku-suku gurun, hampir terpenggal kepalanya dalam insiden di sebuah oasis, sampai bertemu dengan seorang gadis gurun yang membuatnya paham makna cinta.

Semua peristiwa itu telah mengubah cara Santiago memandang dunia, seakan semua itu telah dipersiapkan untuk mengubah dirinya. Petualangan yang semula hanya sekedar sebuah pencarian harta karun itu kemudian berubah menjadi petualangan spiritual baginya.

Santiago juga bertemu dengan sosok misterius yang mampu mengubah timah menjadi emas yang dikenal sebagai Sang Alkemis. Namun inti novel ini bukan sekedar kisah tentang mengubah timah menjadi emas, melainkan kisah tentang bagaimana Santiago berubah sepanjang perjalanan itu: dari seorang gembala biasa menjadi pribadi yang luar biasa.

Menjadi “Siapa” Santiago pada akhir kisahnya merupakan kejutan menarik yang dipersiapkan oleh sang pengarang novel kepada para pembacanya.

Sederhana Namun Kaya Aporisma

Novel ini sangat unik, ditulis tanpa bab dan tanpa daftar isi, hanya sebuah prolog, dua bagian cerita, dan epilog; itu saja. Alur ceritanya mengalir bagai tanpa hilir. Dialog para tokohnya mengandung bahasa simbolik, kaya metafora, namun mudah dicerna.

Novel ini tidak memperkenalkan banyak nama. Hanya tiga tokoh yang disebutkan namanya. Selebihnya, semua tokoh tidak disebutkan namanya. Bahkan Sang Alkemis yang misterius itu bukanlah nama melainkan hanya julukan. Tokoh-tokoh yang hadir di dalam novel, meskipun tidak diketahui namanya, bukan berarti tidak memiliki arti penting dalam cerita. Ketiadaan nama tokoh cerita justru memperkuat plot novel ini dalam jalinan ceritanya. Novel ini menawarkan kepada pembaca sebuah pengalaman mengurai kedalaman karakter tokoh-tokohnya tanpa harus direpotkan dengan menghafal nama-nama mereka. Konsep ini memudahkan pembaca untuk lebih fokus pada makna ceritanya.

‘Sang Alkemis’ ditulis dengan bahasa sederhana, bahkan sangat sederhana, namun diperkaya dengan banyak aporisma indah. Taburan aporisma ini jika dilepas dari konteks ceritanya akan menjadi quote-quote mandiri yang memiliki kekuatan makna.

Beberapa quote menarik dari novel ini, misalnya: Jika kamu menginginkan sesuatu, segenap alam semesta akan bersatu untuk membantumu meraihnya; Dunia berbicara dengan banyak bahasa; Sebenarnya tidak ada yang terlalu rahasia; Tuhan mengungkapkan rahasia-rahasianya dengan mudah kepada segenap ciptaannya; Hanya ada satu cara untuk belajar—melalui tindakan; Masa tergelap di malam hari adalah saat menjelang fajar. Dan masih banyak quote-quote menarik lainnya.

Long-Best-Seller Internasional

Novel ‘Sang Alkemis’ diterjemahkan dari ‘The Alchemist’ karya Paulo Coelho, novelis Brasil yang sebelumnya juga pernah menerbitkan komik. Teks asli novel ini berbahasa Portugis dan diterbitkan di Brasil pada tahun 1988 dengan judul ‘O Alquimista’. Di antara puluhan karyanya, ‘Sang Alkemis’ adalah karyanya paling fenomenal. ‘Sang Alkemis’ telah diterjemahkan tak kurang dalam 67 bahasa dunia.

Novel ini menjadi buku ‘Long-Best-Seller Internasional’ dan tercatat sebagai salah satu dari 10 buku yang paling banyak dibaca manusia. Melalui novel ini, secara tersirat Paulo Coelho seakan hendak berpesan kepada para pembaca bahwa siapapun yang bersungguh-sungguh mengejar impiannya kelak dia akan dapat mewujudkan impiannya dan dalam prosesnya dia juga akan bertumbuh menjadi pribadi yang lebih hebat daripada sebelumnya.

Novel ini juga menegaskan satu hal bahwa menjadi ‘SIAPA’ seseorang pada akhirnya merupakan bagian tak terpisahkan dari proses untuk mendapatkan ‘APA’ yang diimpikan.

‘Sang Alkemis’ bukanlah novel yang semata-mata mengandung unsur cerita spiritual, atau bertendensi motivasional, ataupun kisah percintaan; namun uniknya, semua unsur tersebut dengan mudah bisa kita temukan di dalamnya, bertebaran di sepanjang halaman bukunya, bahkan tanpa kita menyadarinya.

Dibalut dengan aksi-aksi petualangan menegangkan, ‘Sang Alkemis’ telah menginspirasi jutaan orang di seluruh dunia dan telah mendapat pujian internasional dari banyak kalangan: mulai dari pelaku bisnis, politisi, atlet, negarawan, hingga motivator. Philippe Douste-Blazy, mantan Menteri Kebudayaan Perancis, pernah membaca dan merekomendasikan novel ini. Begitu pula Anthony Robbins, motivator terkenal.

Novel ini bagus untuk remaja maupun orang tua, bukan lantaran bahasanya yang sederhana melainkan karena menawarkan inspirasi yang bisa diambil oleh mereka yang telah membacanya.

Saya merekomendasi novel ini. Tepatnya, sangat merekomendasikan.

Jika Anda tidak suka membaca buku fiksi, novel ini layak untuk Anda pertimbangkan sebagai buku fiksi pertama dan satu-satunya dalam koleksi Anda.

Setiap beberapa dekade terbit sebuah buku yang mampu mengubah hidup berjuta-juta pembacanya. Dan novel ini konon adalah jenis buku semacam itu.

Hakim SB Mulyono
Bukittinggi, 21 Oktober 2014

Data Buku
Judul Buku : Sang Alkemis – The Alchemist
Penulis : Paulo Coelho
Penerbit : Gramedia Pustaka Utama
Terbit : September 2013
Tebal buku: 216 halaman
ISBN: 978-979-22-9840-6
Harga : Rp45.000,-

Kampung Terpencil dan Sapi yang Mencurigakan

images - 2020-08-28T165431.315

Di lereng sebuah gunung yang berselimut kabut, terdapat satu kampung kecil. Lokasinya sangat terpencil, jauh dari hiruk pikuk, dan tak mudah dijangkau. Untuk sampai ke sana, siapapun harus memulai perjalanannya dari kampung luar terdekat dulu, yang jaraknya pun jauh dari jalan raya, lalu berjalan melalui rute menanjak dan terjal, melintasi jembatan di atas sungai, dan ketemu jalanan berbatu, setelahnya melewati padang rumput, dan setelah menembus hutan kecil, barulah sampai di sana.

Warga kampung terpencil itu jarang keluar, kecuali sesekali saja ketika mereka menjual panen padinya, itu pun hanya sampai kampung luar. Kampung di pelosok itu hanya dihuni oleh 35 keluarga. Totalnya mungkin sekitar 100 jiwa. Sebagian besar hidup mereka sebagai petani. Apa saja tumbuh di kampung itu. Bebuahan dan rerimpangan tumbuh subur di sekitarnya.

Para petani menanam padi dengan cara sederhana, tanpa pupuk kimia, airnya pun hanya mengandalkan hujan. Mereka membajak tanah dengan cangkul dan tidak pernah mengunakan sapi. Karena tak ada sapi di kampung itu.

Sebagian penduduk kampung pernah mendengar tentang sapi, sebagian lagi pernah melihatnya dari kejauhan, tetapi tidak ada satu pun yang pernah menyentuh apalagi memeliharanya. Sapi adalah hewan yang berbahaya menurut mereka. Bagi mereka, sapi adalah hewan untuk kampung luar, bukan untuk mereka. Prinsip ini telah berlaku sejak dulu, senantiasa dipertahankan, sampai sore itu.

Sore itu, seorang laki-laki setengah baya bernama Kajen, baru selesai menjual padi di kampung luar. Ia dalam perjalanan pulang ke kampung terpencilnya itu. Saat melintasi jembatan, ia melihat sesosok tubuh besar sedang terjebak di sungai. Kajen turun ke sungai untuk melihat lebih jelas. Ternyata sosok itu adalah sapi. Ia terperanjat. Sapi itu tampak kesusahan dan salah satu kakinya mungkin terjepit di bebatuan sungai.

Kajen berada di persimpangan keputusan: membiarkan sapi itu mati kelelahan ataukah menolongnya?

Tapi kemudian Kajen memberanikan diri mendekati hewan yang kena musibah itu. Disentuhnya tubuh sapi itu dan ternyata sapi itu tidak menggigitnya. Maka mantaplah niat Kajen menolongnya. Ia berhasil menangkap sebagian tubuh sapi itu dan menggiringnya ke daratan yang landai dan kemudian menaikkannya ke tepian. Dan Kajen memutuskan untuk membawa sapi itu ke kampungnya. Kelak Kajen akan menerima konsekuensi atas keputusannya ini.

Kemunculan Kajen bersama sapi tentu saja membuat gempar kampung kecil yang tenang itu. Sapi adalah hal membahayakan. Sapi pasti akan mendatangkan masalah buat kampung. Tak lama lagi kampung mereka akan musnah oleh sapi itu.

Penduduk kampung ketakutan atas kehadiran sapi itu. Maka penolakan pun terjadi. Para warga mengerumuni Kajen saat ia mengikat sapi itu di bawah pohon yang letaknya jauh dari pemukiman. Semua orang tentu saja murka, bahkan anak-anak kecil pun ikut-ikutan marah. Sapi berbahayah itu harus segera diusir jauh-jauh dari kampung mereka. Untuk meredam huru-hara ini, sang pemimpin kampung bernama Patuo mengadakan pertemuan.

Ini pertemuan penting dan harus segera diadakan. Soalnya kampung sedang berada dalam kondisi darurat.

“Kamu membawa sial bersama sapi itu,” hardik Patuo kepada Kajen di hadapan warga yang resah. “Manusia tak mungkin bisa hidup berdampingan dengan sapi.”

Kajen menjawab, “Tapi orang kampung luar bisa hidup berdampingan dengan sapi, Patuo.”

“Sapi itu akan memporak-porandakan kampung kita,” kata salah satu warga.

“Kita semua tak akan bisa mengendalikannya.”

“Aku janji akan berusaha mengendalikan sapi itu,” jawab Kajen. “Aku sudah ikat erat-erat di bawah pohon.”

“Kamu akan menanggung akibatnya, Kajen,” seru Patuo mengancam.

Sidang terhadap Kajen berlangsung hingga tengah malam. Tapi pertemuan itu ujungnya dimenangkan oleh Kajen. Lebih tepatnya oleh keras kepalanya Kajen. Ia bersedia dikucilkan warga demi menyelamatkan sapi.

Orang-orang melihat sapi yang diikat di tepi kampung itu dari jarak jauh dengan curiga. Sebentar lagi tamatlah riwayat kampung mereka. Sapi itu tampak sangat berbahaya. Hewan ganas itu kini sudah ada di kampung mereka. Banyak warga yang tidak bisa tidur tenang malam itu. Suara lenguhan sapi itu terdengar lamat-lamat menembus dinding bambu rumah mereka. Beberapa warga mengalami mimpi buruk malam itu.

***

Sapi yang ditemukan Kajen pastilah sapi seseorang dari kampung luar yang tergelincir hanyut ke sungai. Atau entah sapi dari mana. Untuk menelusuri siapa pemiliknya, Kajen pergi sendirian ke kampung luar keesokan harinya.

Sebelum hadirnya sapi itu, Kajen memang sering datang ke kampung luar. Beberapa warga lain pun pernah datang ke kampung luar. Tapi Kajen adalah orang dari kampung terpencil itu yang paling sering ke kampung luar.

Hari itu, Kajen mengelilingi kampung luar. Bertanya kepada siapa saja yang ditemuinya. Namun tak ada satupun orang di kampung luar itu yang kehilangan sapi.

Mumpung lagi di kampung luar, Kajen menemui Sarip, salah satu warga kampung luar. Sarip adalah salah satu pembeli hasil panen warga kampung terpencil. Kajen tidak asing bagi Sarip. Mereka sudah saling kenal dan saling berteman.

“Sarip, ajari aku bagaimana menaklukkan sapi,” kata Kajen kepada Sarip.

“Kami di sini tidak menyebutnya begitu,” komentar Sarip sambil menahan tawa. “Kami di sini menyebutnya memelihara sapi.”

Sarip bersedia mengajari Kajen bagaimana cara memelihara sapi. Maka sejak itu, setiap siang selama tiga hari Kajen datang ke kampung luar untuk melihat langsung bagaimana Sarip memelihara sapinya.

Setelah tiga hari, Kajen sudah merasa paham bagaimana cara memelihara sapi. Maka di tepi kampungnya, Kajen membuat kandang beratap ijuk agar sapinya tidak kedinginan saat turun hujan. Sejak mengetahui caranya, Kajen memiliki aktivitas baru selain mencangkul sawah, yaitu mencari rumput untuk makanan sapinya.

Belajar dari Sarip, Kajen memanfaatkan sapi itu untuk membajak sawahnya. Dengan cara itu, membajak tanah menjadi lebih mudah baginya. Untuk menjaga kebersihan badan sapinya, seminggu sekali Kajen mengajak sapi ke sungai untuk dimandikan biar bersih.

Sementara Kajen sibuk dengan sapinya, penduduk kampung sibuk mencurigainya.

“Kajen sudah mulai aneh,” kata seorang warga memulai kasak-kusuk.

“Betul. Ia menyajikan rumput sebagai makanan untuk sapi itu… Untuk apa coba?” sahut yang lain.

“Ia juga membuatkan rumah untuk sapi itu,” kata yang satu lagi. Mungkin maksudnya kandang.

“Ada yang lebih aneh lagi,” sahut yang lain lagi, “Seminggu sekali ia pergi ke sungai untuk memandikan sapi itu.”

Kasak-kusuk itu terus berlanjut. Semakin gaduh, dan semakin bergejolak.

Seseorang berkata, “Kajen telah diperbudak oleh sapi!”

Tapi yang lebih aneh lagi adalah kesimpulan seorang warga: “Kajen telah menyembah sapi.”

Karena kasak-kusuk tak terbendung lagi, maka diadakanlah pertemuan kedua. Agendanya sangat penting: membahas sapi. Hanya di kampung terpencil itulah seekor sapi bisa membuat semua warga harus mengadakan rapat sampai dua kali. Rapat kali ini harus ada vonis untuk Kajen.

“Kajen,” seru Patuo pada pertemuan tersebut. “Kudengar, kamu sekarang diperbudak oleh sapi! Benarkah?”

Kajen menggeleng. “Tidak benar, Patuo. Aku hanya memeliharanya. “Aku tidak diperbudak oleh sapi.”

“Lalu, kenapa sapi itu kau beri makan?” tanya Patuo lagi.

Pertanyaan ini wajar. Sebab semua hewan di kampung itu hidup secara liar, bahkan termasuk ayam dan bebek dilepas begitu saja. Hewan-hewan dibiarkan mencari makan di alam bebas.

“Karena sapi butuh makan, Patuo,” jawab Kajen. “Aku gunakan tenaga sapi itu untuk membajak sawah. Sapi perlu makan untuk memulihkan tenaganya… Itu bukan karena aku diperbudak oleh sapi, Patuo.”

“Kamu membangunkan rumah untuk sapi, itu. untuk apa?” tanya Patuo.

“Untuk berteduh, Patuo,” jawab Kajen. “Sapi butuh itu. Juga biar sapi itu tidak lepas.”

Patuo berpikir, sebaiknya sapi ganas itu memang jangan dilepaskan. Taruhannya nyawa soalnya.

“Kamu memandikan sapi itu tiap minggu. Ritual apa itu?” cecar Patuo.

“Memang seperti itu seharusnya yang dilakukan oleh para pemelihara sapi, Patuo,” jawab Kajen apa adanya.

“Apa kamu menyembah sapi?” hardik Patuo.

“Tidak, Patuo,” jawab Kajen tegas. “Sapi itu bekerja untukku. Sapi itu membajak sawah untukku. Maka aku memeliharanya. Aku tidak menyembah sapi.”

Kajen memang keras kepala, tapi jawabannya jujur dan apa adanya. Setelah Patuo tak melihat ada yang menyimpang dari kehidupan Kajen, Patuo membolehkan Kajen meneruskan kebiasaannya memelihara sapi. Tapi hanya sebulan. Kalau dalam sebulan sapi itu terbukti berbahaya, kalau ada warganya yang tewas akibat digigit sapi, maka Kajen harus diusir keluar dari kampung. Kajen menyanggupi tenggat waktu sebulan itu.

Maka, sejak pertemuan kedua itu, Kajen merasa bebas memelihara sapi. Kesempatan ini dipakai Kajen untuk menunjukkan kepada warga bahwa sapi tidak berbahaya. Ia sendiri belum pernah digigit sapi itu. Ia juga memperlihatkan bagaimana mempekerjakan sapi untuk membajak sawah. Sebulan telah berlalu, dua bulan, tiga bulan, dan seterusnya, ditunggu-tunggu ternyata kampung mereka tidak porak poranda.

Setelah satu tahun sejak kedatangan sapi itu, para warga mulai terbiasa dengan sapi dan lenguhannya. Selama setahun belakangan, angka tewas akibat digigit sapi adalah nol.  Mereka mulai terbuka pikirannya dan mulai melihat adanya manfaat dari sapi tersebut. Ternyata sapi bisa membantu membajak sawah. Kini bertani semakin mudah. Sapi ternyata tidak berbahaya.

Lalu pertemuan ketiga membahas sapi pun diadakan. Ini pertemuan yang bersejarah. Karena pada pertemuan itu diputuskan bahwa kampung terpencil itu harus mendatangkan lebih banyak sapi. Mereka telah menyelidiki dengan seksama dan mendapatkan kabar valid yang terpercaya bahwa sapi itu bisa diternakkan dan dikembangbiakkan. Sejak pertemuan yang mencerahkan itu, kampung terpencil Kajen pun berubah.

***

Lima tahun berlalu. Kampung itu kini telah punya lima ekor sapi. Satu ekor sapi Kajen dan empat lagi sengaja dibeli dari kampung luar. Setiap satu ekor sapi dipelihara oleh tujuh kepala keluarga. Setiap kelompok menunjuk perwakilan, siapa di antara mereka yang bertugas untuk memelihara sapi, memberinya makan, dan jika perlu memandikannya di sungai.

Kini sapi bukan lagi hal yang dianggap aneh di kampung itu. Penduduk kampung tak lagi curiga pada sapi. Sapi tidak lagi dianggap memperbudak manusia, karena justru mereka memanfaatkannya untuk membajak sawah. Jangan-jangan manusialah yang memperbudak sapi.

Mereka memberi makan sapi-sapinya, bukan karena sapi itu minta diperlakukan demikian, melainkan agar mereka tetap bisa berharap sapi itu memiliki tenaga keesokan harinya untuk bekerja membantu mereka membajak sawah.

Semua sapi dibuatkan kandang.

***

Hari ini telah masuk tahun keenam sejak kedatangan sapi Kajen yang bersejarah itu.

Sore tadi, Kajen telah selesai membajak sawah dengan sapinya yang kini sudah gemuk. Ia dalam perjalanan pulang bersama sapinya. Sebelum ke rumah, ia mampir dulu ke kandang, untuk memasukkan sang sapi ke dalamnya.

Kandang yang dibuat lima tahun lalu itu oleh Kajen diberi nama Keris. Semua warga pun ikut-ikutan menamai kandang sapinya dengan nama Keris.

Kajen menghalau masuk sang sapi ke dalam Keris. Di dalam Keris, Kajen melempar rumput kepadanya.

“Jin, ayo makan makananmu,” kata Kajen kepada sang sapi. Kajen memanggil sapinya dengan nama Jinten. Seringkali ia cukup memanggilnya Jin saja.

“Ini sajian untukmu, Jin… Makanlah, biar besok kamu kuat bekerja lagi.”

Jinten melenguh, “Mooooh…”

Kajen tersenyum kepada Jinten. Sempat terlintas dalam benak Kajen, apakah mungkin sapi itu paham apa yang barusan dikatakannya? Tapi ia tak boleh suudzon.

Kajen memandang ke sekeliling Keris yang tampak mulai kotor dan banyak sarang laba-laba di pojok-pojok dindingnya. Kandang itu tampaknya perlu perawatan, perlu dibersihkan.

“Mungkin sesekali aku perlu membersihkan kandangmu, Jin,” kata Kajen mengajak bicara Jinten.

Jinten melenguh lagi, “Mooooh…”

“Baiklah, Jin, nanti setiap tahun, aku akan mencuci Keris,” katanya.

Setelah itu, Kajen menutup pintu kandang, meninggalkan Jin istirahat di dalam Keris, dan ia pun melenggang pulang.

Hakim SB Mulyono 🇮🇩
Bandar Lampung, 13 Oktober 2017

Berenang, Memanah dan Berkuda Dalam Organisasi

“Ajari anak-anakmu berenang, memanah, dan naik kuda,” demikian kata Umar bin Khattab, tokoh Islam yang namanya tercantum di dalam buku 100 Tokoh Paling Berpengaruh di Dunia Sepanjang Sejarah karya Michael H. Hart. Berenang, memanah, dan berkuda adalah tiga aktivitas yang membutuhkan konsentrasi. Berenang adalah aktivitas yang memang disukai anak-anak. Jika dulu latihan memanah hanya dilakukan oleh atlet panahan, kini sudah banyak masyarakat umum yang memiliki alat panah dan bermain panah. Kini memanah telah menjadi semacam trend permainan pengisi waktu dewasa ini. Berkuda pun demikian. Sebagian negara juga memiliki satuan polisi berkuda. Dapat dikatakan bahwa berenang, memanah, dan berkuda adalah tiga aktivitas yang sejak dulu hingga kini tetap relevan dengan semua zaman.

Sementara Ali bin Abi Thalib, juga seorang tokoh Islam, pernah berkata, “Didiklah anak-anakmu sesuai dengan zamannya, karena mereka hidup bukan di zamanmu.” Dengan kalimat tersebut, Ali hendak mengingatkan bahwa tidak semua zaman memiliki karakteristik yang sama, bahwa perubahan yang mengiringi zaman adalah keniscayaan.

Meskipun berenang, memanah dan berkuda akan senantiasa relevan dengan semua zaman, di tulisan ini tiga hal tersebut akan dicoba untuk diambil substansinya, dilihat dari makna filosofisnya dan kemudian ditawarkan sebagai tiga hal yang mungkin bermanfaat jika diterapkan ke dalam manajemen kontemporer.

Manajemen terutama berurusan dengan manusia. Aset terbesar dari organisasi bukanlah gedung dan sarana prasarananya, melainkan manusianya. Organisasi yang kuat digerakkan oleh orang-orang yang kuat, yang secara makna dapat dikatakan sebagai orang-orang yang memiliki daya tahan (durabilitas) terhadap tekanan kerja dan tuntutan zaman. Dan mengembangkan daya tahan adalah substansi dari berenang.

Selain sebagai cabang olahraga yang dilombakan, banyak pakar kesehatan menyetujui bahwa aktivitas berenang sangat bermanfaat untuk menjaga daya tahan seseorang. Substansi inilah yang sangat diperlukan organisasi mana pun: daya tahan. Anjuran Umar bin Khattab agar kita mengajarkan anak-anak berenang, selain berarti bahwa kita perlu melatihnya berenang secara harfiah, secara makna juga berarti bahwa kita perlu mengajarkan anak-anak bagaimana melatih daya tahan mental dan pikirannya. Hanya mereka yang memiliki cukup daya tahan yang akan berdiri tegak dan melaju di tengah perubahan zaman. Dan orang-orang berkualitas seperti ini sangat dibutuhkan organisasi.

Organisasi juga membutuhkan orang-orang yang memiliki kekuatan bukan hanya tubuhnya namun juga intelektual dan mentalnya. Selain membangun daya tahan (durabilitas), kekuatan juga merupakan kata kunci dari berenang. Organisasi yang orang-orangnya bermental “perenang” dapat dikatakan memiliki asset terbaik berupa orang-orang yang kuat.

Namun memiliki orang-orang yang “kuat” saja tidaklah cukup. Organisasi mana pun, baik komersil maupun non-komersil, membutuhkan orang-orang yang cepat dalam bekerja. Kini kecepatan sudah menjadi bagian tak terpisahkan dari zaman ini, yakni zaman informasi. Pegawai yang “kuat” namun tidak dapat bergerak dengan cepat, dalam artian ia bekerja lamban dan kurang produktif, akan terseleksi dengan sendirinya dan organisasi modern dewasa ini dengan mudah akan dapat menandai orang-orang semacam ini. Kekuatan memang perlu, namun itu tidak cukup; bahkan tidak berguna jika tidak memiliki kecepatan. Itulah gunanya berkuda.

Makna filosofis dari berkuda adalah tentang kecepatan. Seseorang yang bergerak maju dengan menaiki kuda akan lebih cepat sampai di tujuan dibandingkan orang lain yang berjalan kaki. Seseorang yang melaju dengan kendaraan akan lebih cepat sampai tujuan dibandingkan pelari paling jagoan.

Berkuda adalah simbol dari penggunaan sarana untuk mempercepat mencapai tujuan. Dalam makna yang diperluas, seseorang yang mahir menggunakan alat bantu akan lebih efisien dalam mencapai tujuan dibandingkan yang hanya mengandalkan kekuatannya sendiri. “Kuda” itu bisa bermakna aplikasi, sarana teknologi informasi, dan hal apapun yang mempercepat kinerja pegawai untuk mencapai target organisasi. Efisiensi adalah kata kunci dari berkuda.

Perbandingan antara kekuatan dan kecepatan tergambar jelas dalam rumus Einstein tentang energi, yakni E=m.c2. Berdasar rumus ini, energi adalah perkalian antara materi dan kuadrat dari kecepatan cahaya. Materi (m) adalah simbol kekuatan. Sementara kecepatan cahaya (c) adalah simbol kecepatan. Besaran m dan c menentukan besaran E. Sebesar apapun kekuatan (m) jika kecepatannya (c) rendah, energi yang hasilkan akan kalah dibandingkan jika kecepatan (c) tinggi meskipun kekuatannya (m) tidak seberapa.

Untuk jelasnya kita ambil contoh. Contoh pertama, kekuatan besar (misal m=9) dikombinasikan dengan kecepatan rendah (misal c=2) maka E=9.2.2, hasilnya E=72. Contoh kedua kita balik, kekuatan kecil (m=2) dikombinasikan dengan kecepatan tinggi (c=9) maka E=2.9.9, hasilnya E=162. Artinya, pengaruh kecepatan jauh lebih signifikan menghasilkan energi (baca: output kinerja) dibandingkan pengaruh kekuatan. Dengan kata lain, yang cepat akan mengalahkan yang kuat namun lamban. Artinya, efisiensi lebih penting dibandingkan keahlian personal.

Organisasi yang efisien digerakkan oleh orang-orang efisien yang berada di dalamnya. Jika organisasi tersebut organisasi nirlaba sektor publik semisal kantor pelayanan, maka kantor pelayanan akan efisien jika para pegawai di dalamnya bekerja efisien dan bukan hanya mengandalkan kemampuan kerja pribadinya.

Namun kecepatan saja belumlah cukup. Sebab baik kuat maupun cepat adalah kualitas dasar yang tak bisa ditawar lagi di zaman sekarang. Kuat dan cepat adalah persyaratan minimal. Durabilitas dan efisiensi adalah sesuatu yang tak bisa ditawar di era informasi ini. Sejak awal, seleksi penerimaan calon pegawai untuk menjadi pegawai suatu instansi sudah memperhitungkan dua hal ini: kekuatan dan efisiensi. Namun sayangnya, dua hal tersebut belumlah cukup karena kinerja dari gabungan kekuatan dan efisiensi akan sia-sia jika tidak tepat sasaran.

Gabungan kekuatan dan kecepatan baru bermanfaat hanya jika diarahkan untuk mencapai sasaran organisasi. Keahlian personal (hard competency) dan efisiensi justru akan berbahaya bagi organisasi jika tidak mengarah pada visi dan misi organisasi.

Sebagaimana pernah diungkap oleh Stephen Covey melalui bukunya berjudul The 7 Habits of Hoghly Effective People, kecepatan kinerja yang tidak mengarah pada tujuan hanya akan mempercepat seseorang menemukan kegagalan; kecepatan yang tidak tepat sasaran dianalogikan seperti efisien dalam menaiki tiap anak tangga namun tangga tersebut bersandar pada dinding yang salah. Karena kesalahannya, orang yang naik tangga tersebut terpaksa harus turun kembali ke bawah (ke titik awal pekerjaannya dimulai) dan menyandarkan ke tangga yang tepat (memulai dari awal lagi); dan seluruh aktivitas ini meskipun di dalamnya ada unsur efisiensi namun hasilnya justru banyak membuang-buang waktu alias tidak efisien (karena harus dua kali kerja). Efisien yang tidak efektif akan merugikan pelakunya. Kecepatan barulah bermanfaat jika tepat sasaran. Itulah gunanya memanah.

Inti dari memanah adalah mengarahkan dan melejitkan anak panah tepat ke sasaran. Di dalam memanah juga ada kekuatan dan kecepatan, namun yang terpenting adalah filosofi tepat sasarannya. Secara simbolis, memanah adalah tentang fokus, berkonsentrasi, dan mengarahkan sesuatu tepat ke sasaran.

Setiap organisasi memiliki sasaran, apa yang disebut visi, misi, target, tujuan, dan lain sebagainya. Tidak penting sebanyak apa organisasi tersebut memiliki orang-orang kuat dan cepat, jika kinerja mereka semua tidak mengarah untuk mencapai tujuan organisasi, tidak merealisasikan apa yang ditargetkan, atau melenceng dari visi dan misi organisasi, maka semua kualitas dasar tersebut akan sia-sia. (Lihat lampiran untuk membaca kisah tentang tindakan efisien yang tidak efektif)

Efektivitas adalah kunci dari memanah. Organisasi dikatakan efektif jika seluruh elemen di dalam organisasi tersebut tahu apa yang harus dilakukan, tahu apa yang dituju, paham tentang visi dan misi organisasi, atau tahu persis target yang hendak direalisasikan. Namun memastikan sebuah organisasi berjalan efektif terutama adalah tugas seorang pemimpin.

Dalam organisasi, Pemimpin dan Pimpinan dapat bersatu dalam satu pribadi. Sengaja dua hal ini dibedakan karena ada beberapa perbedaan di antara keduanya. Pimpinan adalah jabatan formal dalam organisasi dan seorang pimpinan membutuhkan legitimasi dan pengakuan; sementara Pemimpin bukanlah jabatan formal dan tidak membutuhkan legitimasi. Dalam organisasi, seorang pimpinan seringkali adalah pemimpin juga, namun untuk menjadi pemimpin tidak harus menjadi pimpinan. Seorang pegawai pelaksana di suatu kantor yang punya pengaruh secara positif kepada para pegawai lainnya untuk mencapai sasaran bersama, ia dapat disebut pemimpin, meskipun secara formal bukan berada di jabatan pimpinan.

Dalam organisasi, sebagaimana diungkap oleh John C Maxwell dalam buku Leadership 360, seseorang dapat mengembangkan pengaruhnya dari posisi mana pun untuk mengarahkan organisasi mencapai tujuannya. Seringkali mereka adalah para pegawai yang efektif, entah dia seorang pimpinan atau bukan.

Seorang pimpinan (manajer) memastikan organisasi melakukan sesuatu dengan benar; dengan kata lain pimpinan memastikan orang-orangnya memiliki daya tahan kinerja tinggi sekaligus efisien dalam bekerja. Sementara pemimpin (leader) memastikan organisasi melakukan apa yang benar; dengan kata lain pemimpin memastikan orang-orang bekerja efektif. Pimpinan yang berjiwa pemimpin (leader) adalah aset paling berharga suatu organisasi.

Entah pimpinan ataupun pelaksana dalam suatu instansi, kepemimpinan yang dimilikinya akan mengarahkan instansi tersebut untuk bergerak efektif mencapai visi dan misi instansi (memanah) dan mampu menggerakkan orang-orang kuat (perenang) dan orang-orang berkinerja tinggi (ahli berkuda) di dalamnya. Tak dapat ditawar lagi, untuk menjadi pegawai yang patut diperhitungkan organisasi, ia haruslah kuat (punya durabilitas), cepat (efisien), dan tepat (efektif). Saya berharap, Anda yang membaca tulisan ini adalah salah satunya.

Bandar Lampung, 31 Desember 2019

=============================

Lampiran: (Kisah tentang kecepatan yang tidak tepat sasaran)

BAMBUNG DAN PERCEPATAN MOBILNYA https://m.facebook.com/photo.php?fbid=10203005550159519&id=1227515948&set=a.10201262060533368

Flying Without Wings

Suatu saat nanti, untuk bisa melihat keadaan suatu tempat di manapun di muka Bumi, Anda tak perlu lagi beranjak dari tempat duduk Anda. Dari tempat Anda duduk, Anda tiba-tiba bisa berada di Alun-alun kota kelahiran Anda; dan di titik itulah Anda bisa melihat detil bangunan Masjid Raya di depan Anda, atau gedung kantor pos yang tak jauh di sebelahnya, atau jalan raya berikut kendaraan dan orang-orang yang sedang berlalu lalang di depan Alun-alun.

Di titik di mana Anda seakan berada itu, Anda juga seakan berada di kubah raksasa yang penuh citra dengan objek 3D yang bisa Anda rasakan kedalamannya. Namun begitu, berbeda dengan dunia nyata yang sebenarnya, apa yang Anda lihat adalah replika dari sumber aslinya, ditambah dengan berbagai tanda berupa tulisan maupun simbol. Tanda-tanda yang bertebaran dan menempel di bangunan, pohon, toko-toko itu adalah informasi tambahan yang melengkapi citra. Bahkan versi sempurnanya, orang-orang yang lalu lalang akan disertai ikon yang bisa Anda klik untuk mengetahui identitas ringkas sang subjek. Itulah augmented reality.

Menariknya, kelak ketika aplikasi ini sudah ada, Anda melihat semua itu seakan nyata karena citra yang tampak memang bersumber dari kondisi nyatanya. Bukan hanya itu; Anda bisa melihat ke segala arah dalam format 360 yang berarti ke manapun Anda menolehkan kepala maka mata Anda akan menangkap citra apapun yang sedang berlangsung di sana. Saat Anda seakan-akan berada di sana, apapun yang Anda lihat memang sedang berlangsung secara real-time, atau setidaknya tertunda beberapa menit dari kejadian langsungnya.

Aplikasi ini bisa dimanfaatkan untuk tujuan menyelidiki lokasi-lokasi terpencil di Bumi yang membutuhkan biaya sangat besar jika dilakukan secara konvensional, untuk mendata hewan maupun tumbuhan di hutan belantara, untuk mencegah terjadinya perang karena semua pihak memiliki kekuatan informasi yang nyaris setara, untuk menyelidiki kasus-kasus kriminal dan menjadi alat bukti terjadinya suatu peristiwa, dan bisa juga sebagai sarana untuk berekreasi, flying without wings.

“Masa Depan tertanam di hari ini,” demikian kata John Naisbitt. Hari ini sudah hadir aplikasi Google Street yang meskipun masih 2D namun sudah bisa menampilkan format 360. Google Street bisa menjadi cikal-bakal dari aplikasi Augmented Reality yang kita bicarakan di atas.

Namun begitu, John Naisbitt juga berkata, “Apa yang kita pikirkan akan terjadi, selalu terjadi lebih lambat.” Dan itu berarti bahwa Anda yang saya maksud di sini, yang saya ajak bicara sejak tadi, bisa jadi bukan Anda yang saat ini sedang membaca pesan ini. Anda cukup tahu saja bahwa hal ini mungkin terjadi pada saatnya nanti.

Bandar Lampung, 27 Mei 2019

Baterai Yang Tak Kunjung Padam

Motivator dikatakan sukses apabila orang-orang yang ia motivasi berhasil memotivasi dirinya sendiri.

Motivator sejati bukan sekedar memotivasi namun juga punya misi agar orang-orang yang ia motivasi tidak lagi tergantung pada motivasi dari sang motivator melainkan termotivasi oleh motivasi dari dalam diri mereka sendiri.

Bagi motivator sejati, tujuan utama motivasi sesungguhnya adalah memerdekakan manusia agar bisa memotivasi dirinya sendiri, bukan justru mempertahankan ketergantungan pada sang motivator.

Semangat Tanpa Perlu Disemangati

Seseorang yang mampu memotivasi dirinya sendiri, yang memiliki motivasi kuat dari dalam diri mereka sendiri, tidak akan terombang-ambing oleh terjangan ombak dan gelombang situasi di tengah samudera kehidupan. Daya juang renangnya ke tepian pantai tidak ditentukan oleh teriakan-teriakan motivator yang menyemangatinya dari atas kapal kenyamanan.

Seseorang yang mampu memotivasi dirinya sendiri akan berani mengambil tanggung jawab pribadi atas kehidupannya, akan berani melepaskan ketergantungannya pada motivasi dari luar, akan berani mempertahankan karakternya di tengah perubahan situasi.

Seseorang yang mampu memotivasi dirinya sendiri tidak akan mengutuk situasi dan berlagak menjadi korban situasi, tidak akan mengizinkan perubahan situasi mengubah pola responnya, apalagi sampai mengubah karakternya.

Orang-orang yang mampu memotivasi dirinya sendiri paham betul tentang kemampuan sekaligus ketidakmampuannya. Mereka paham tidak mampu mengendalikan arah angin namun sekaligus paham bahwa mereka memiliki kendali untuk mengubah arah layar kapalnya. Situasi tidak selalu bisa diubah, dan sebagian besarnya ada di luar kendali, namun sikap terhadap situasi selalu bisa diubah dan dalam kendali sadar mereka.

Motivasi Mandiri Dalam Organisasi

Di dunia kerja dewasa ini, baik motivator sejati maupun mereka yang berhasil memotivasi dirinya sendiri adalah pribadi-pribadi yang dibutuhkan oleh organisasi.

Motivator sejati dibutuhkan organisasi karena kemampuannya dalam mencetak pegawai bertipe pekerja, yakni pegawai yang bekerja tanpa harus diawasi setiap saat dan tanpa harus didorong setiap hari.

Sementara itu, mereka yang berhasil memotivasi dirinya sendiri pada gilirannya juga akan menjadi motivator bagi lingkungannya, namun tanpa membuat lingkungannya tergantung padanya.

Mereka adalah para pekerja mandiri. Dan kerjasama yang optimal akan tercapai hanya jika orang-orang yang saling bekerja sama adalah orang-orang mandiri yang tidak saling menggantungkan diri, tidak saling mengandalkan, melainkan justru saling melengkapi dengan kelebihannya masing-masing.

Dalam dunia kerja dewasa ini —ketika sumber informasi telah tersedia luas, ketika setiap orang semakin setara dalam mendapatkan akses informasi— para pekerja mandiri adalah aset berharga bagi organisasi. Mereka bisa diandalkan bukan hanya untuk menyelesaikan tugas pribadi melainkan juga untuk tugas yang butuh kerjasama dan sinergi.

Orang-orang dengan kualitas seperti ini, yang memunculkan potensi terbaik dirinya dan fokus pada proses inside-out, adalah bagaikan baterai yang tak kunjung padam.

Bandar Lampung, 2 April 2019

Perjalanan Menuju Kampung di Seberang Gurun

12111919_10205301849885577_8611921986045291840_n

Terkadang sebuah perjalanan menjadi penting bukan hanya karena tujuannya, namun juga karena kemungkinan akan menjadi siapa seseorang dalam perjalanannya.

Seorang lelaki memutuskan untuk mengembara ke kampung lain yang letaknya di seberang gurun. Di kampungnya yang sekarang, dia tak menemukan jawaban memuaskan tentang kehidupan. Orang-orang di kampungnya tidak berpikir kecuali dalam satu di antara dua cara berpikir yang berseberangan. Para orang tua menganggap bahwa jiwa lebih mulia daripada raga. Sementara anak-anak muda menganggap bahwa raga lebih berharga daripada jiwa. Mungkin di kampung yang lain, di seberang gurun, dia akan menemukan jawabannya.

Kini dia sedang melintasi gurun pasir yang kering kerontang. Kantung minuman yang terbuat dari kulit domba, yang dia bawa sebagai bekal menahan dahaga, kini sudah mulai menipis isinya.

Di seperempat perjalanan, air itu habis sama sekali. Dia berjalan kehausan dengan kantung minuman kosong. Lalu suara itu terdengar.

“Apa yang bisa kau perbuat di tengah gurun dengan membawa-bawa kantung minuman kosong itu? Tak peduli seberapa bagus dan mahalnya kantung minumanmu itu, jika kosong tak ada airnya, kantung itu tak berguna bagimu.”

Dia tahu, memang tak ada gunanya membawa-bawa kantung itu lagi. Maka dia membuang kantung itu dan melanjutkan perjalanan.

Di tengah dahaga yang mulai mendera, dia meneruskan langkahnya dengan langkah-langkah bagaikan raga tanpa jiwa.

Hingga di pertengahan perjalanan, dia tiba di sebuah oasis dengan air yang melimpah. Dia minum sepuas-puasnya, sampai hilang semua dahaga. Lalu suara itu terdengar lagi.

“Apa yang bisa kau perbuat dengan air melimpah yang disediakan oasis ini jika kau sendiri tak bisa menyimpannya? Jika kau berhenti di sini kau akan mati kelaparan. Jika kau meneruskan perjalanan, maka tiadanya kantung minuman membuat air yang melimpah ini tiada artinya.”

Oasis ini berada di tengah jarak perjalanannya. Dia berpikir untuk kembali, tapi itu tak mengubah apapun. Dia berpikir untuk mencari kantung minumannya lagi, tapi itu akan membuang waktu sia-sia. Bukan hanya masalah jarak, yang mana bolak-baliknya sama dengan sisa perjalanannya, tapi juga masalah kantung itu sendiri, dia tak ingat di mana tadi telah membuangnya.

Maka dia memutuskan meneruskan langkahnya dengan langkah-langkah gontai bagaikan jiwa tanpa raga.

Di sisa perjalanannya yang tinggal seperempat lagi, dia berjuang menahan dahaga dan terus menyesali keputusannya yang gegabah. Dalam kondisi dahaga itu pikirannya mulai bekerja. Pikirannya terus bekerja dan mulai melihat makna. Suara-suara yang dia dengar tadi yang seakan berasal dari gurun, bisa jadi sebenarnya berasal dari suara hati nuraninya sendiri. Tiba-tiba, jawaban itu kini tersedia.

“Kantung minuman tanpa air tiada berguna. Air tanpa kantung minuman tiada artinya.”

Kini dia meneruskan sisa perjalanan dengan jiwa dan raganya.

Jangan Konyol

Siang itu, di salah satu ruang tunggu Bandara Soeta, terjadi kekacauan. Para penumpang berteriak-teriak sambil merusak apapun yang ada di depannya. Kursi-kursi ditendang. Rak charger digulingkan. TV layar datar dijatuhkan. Kondisi siang itu sangat berantakan.

Beberapa menit sebelumnya, petugas maskapai memberi tahu bahwa pilot yang seharusnya menerbangkan pesawat Boeing 777 tiba-tiba jatuh sakit. Alasan itu dianggap tidak masuk akal oleh para penumpang karena jika demikian keadaannya kenapa tidak diberitahukan sebelumnya, padahal jadwal take off sudah tertunda 2 jam. Anehnya, menurut salah satu penumpang yang murka, kenapa tak ada pilot pengganti? Belakangan petugas memberi tahu pilot pengganti terdekat membutuhkan 5 jam untuk sampai di bandara. Info ini semakin aneh didengar oleh para penumpang yang mulai kalap. Semua itu memicu sikap anarkis para penumpang.

Kini ruang tunggu bagaikan stadion rusak yang hancur gara-gara tawuran antar supporter sepakbola. Sobekan-sobekan koran dan majalah di mana-mana. Sampah-sampah sisa makanan sengaja diserakan. Seorang penumpang yang bakat provokator mulai membakar kertas-kertas dengan korek api yang berhasil lolos dan tidak disita petugas.

“Berangkatkan kami sekarang juga!” teriak seseorang. Teriakan ini disambut pekikan kemarahan yang lainnya. Seseorang berteriak, “Kalau tidak berangkat sekarang, kita hancurkan bandara!” Kekacauan semakin merajalela.

Di tengah huru-hara yang mengkhawatirkan itu, tiba-tiba muncul seseorang lelaki berbaju jingga. Perawakannya biasa saja, umurnya setengah baya, namun teriakannya lumayan lantang. “Diam kalian semua!” teriaknya, “aku akan jadi pilotnya! Pesawat akan segera berangkat!”

Nama orang ini Pak Markentir. Dia adalah petugas cleaning service yang baik hati. Hidupnya jujur dan tak pernah menyakiti siapapun. Dia rajin ibadah dan tak pernah mencela. Di kalangan rekan-rekan cleaning service, dia dikenal sebagai orang tua yang ikhlas. Kepada beliau inilah sekarang tanggung jawab penerbangan ini dibebankan. Sungguh seorang sukarelawan yang berani berkorban, bukan?

Hanya dua penumpang di antara ratusan lainnya yang tahu profesi asli Pak Markentir. Saat semua orang sudah di kabin, termasuk mereka berdua, dua orang penjaga rahasia ini saling berdebat.

“Seharusnya kita nggak usah naik pesawat ini,” kata yang satu. “Aku nggak yakin Pak Markentir bisa menerbangkan pesawat ini.”

“Tenang saja kawan,” kata yang satu lagi. Kebetulan dia berprofesi sebagai motivator yang selalu optimis. “Kita positif thinking saja. Aku yakin Pak Markentir bisa kok. Dia itu orang baik. Tuhan pasti akan membantunya. Positif thinking saja… Itu.”

(Selesai)

========

Tambahan (dibaca hanya jika mau):

Positif Thinking (atau berpikir positif) itu penting. Dan karena penting, tak ada cara lain yang bisa menggantikannya. Positif thinking merupakan cara yang benar untuk menjalani hidup.

Namun dalam kehidupan, positif thinking perlu dilengkapi dengan hal-hal yang lain. Hanya modal positif thinking, belumlah cukup. Positif thinking tidak bisa melawan hukum alam, misalnya gravitasi. Jika seseorang jatuh dari jembatan, positif thinking tidak bisa menahan laju tubuhnya saat jatuh ke sungai. Jika seseorang ngebut di jalan raya mengendarai motor, dengan hanya modal positif thinking namun tidak pakai helm, itu tidak menghindarkannya dari potensi bahaya. Selain harus positif thinking, seorang penerjun juga harus siap dengan parasut. Jangan konyol.

Positif thinking perlu dilengkapi dengan hal-hal lain, di antaranya keterampilan menjaga diri, ilmu pengetahuan, kewaspadaan atas potensi bahaya, mitigasi risiko, pengaturan strategi, pengumpulan database, pembangunan sistem yang efisien, peralatan yang mendukung keselamatan, perencanaan yang matang, dan banyak hal lainnya.

Semua hal lain itu sama sekali tidak mengurangi arti penting positif thinking, justru malah melengkapinya. Itu saja.

Hakim SB Mulyono

Spiritualitas Pemain Game

SPIRITUALITAS PEMAIN GAME

Orang yang hidupnya seimbang ibarat ia sedang main sebuah game yang ada di komputer; ia serius memerankan peran yang dimainkannya di dalam game namun tetap sadar bahwa dirinya yang sejati bukanlah yang berada di dalam game melainkan yang duduk memegang stik di depan monitor. Ia tak mengabaikan semua aturan main game, mencari solusi dari setiap tantangan yang dihadapinya di dalam permainan tersebu. Ia peduli dengan permainannya namun pada saat yang sama ia tetap sadar bahwa peran yang dimainkannya di dalam game hanyalah sementara dan pada waktunya akan berakhir juga. Ia sadar bahwa diri sejatinya bukanlah tokoh yang diperankannya di dalam game. Gamer seperti ini adalah analogi dari seseorang yang hidupnya seimbang antara spiritualitas dan materialistis.

Orang-orang yang hanya peduli pada sisi material dan mengabaikan sisi spiritualnya ibarat pemain game yang tenggelam dalam permainan game di komputer sampai-sampai lupa terhadap dirinya yang sejati. Ia lupa bahwa dirinya yang sejati adalah yang sedang duduk memegang stik di depan monitor. Ia menyangka bahwa realitas di dalam game itulah yang nyata. Ketika listrik padam, komputer mati, game selesai tiba-tiba, atau saat game over; saat itulah ia mendapati bahwa diri sejatinya bukanlah apa yang selama ini diperankannya di dalam game tersebut. Kesenangan sementara dalam permainan membuatnya terlena. Ia lupa makan, lupa diri, dan lupa diri sejatinya, yang ia pedulikan hanya tokoh yang diperankannya di dalam game.Kelak orang-orang yang hanya peduli pada sisi material akan kecewa ketika menyadari bahwa selama ini waktunya habis hanya untuk permainan dan dirinya yang sejati tidak mendapatkan apa-apa.

Sebaliknya, orang-orang yang hanya peduli pada sisi spiritual, dan mengabaikan sisi materialnya, ibarat pemain game di komputer yang ogah-ogahan dalam bermain. Bisa jadi ia tidak menguasai aturan main game tersebut. Ia terlalu sadar bahwa dirinya bukanlah tokoh yang sedang diperankannya di dalam komputer itu melainkan yang sedang duduk memegang stik di depan monitor. Ia tahu bahwa realitas di dalam game itu tidak nyata. Maka ia sering kalah ketika bermain, ia akan menyingkir di tepian, naik ke atas gunung menghindari permasalahan, atau masuk ke dalam gua untuk menghindari kontak dengan tokoh-tokoh game lainnya, atau diam tak melakukan apapun sampai listrik padam dan game berakhir. Mereka yang hanya peduli pada sisi spiritual tidak akan punya peran penting di dalam permainan. Kesadarannya pada dirinya yang sejati telah mengabaikannya dari tugas dan misi menuntaskan permainan. Meskipun diri sejatinya tidak rugi namun jelas sekali bahwa ia telah gagal memerankan peran penting dalam permainan tersebut.

Semua orang yang dihadirkan Tuhan di atas panggung kehidupan yang penuh sandiwara ini ibarat para pemain game tersebut. Saran bagi para pemain game tersebut adalah jadilah pemain game yang handal, kuasai aturan mainnya, tuntaskan misinya, namun jangan lupakan bahwa diri sejati Anda bukanlah tokoh di dalam game, melainkan yang sedang duduk memegang stik di depan komputer. Seimbangkanlah sisi spiritual dengan sisi material Anda. Jangan terlalu condong pada satu sisi dengan mengabaikan sisi yang satunya lagi. Jangan terlalu tenggelam dalam permainan dan juga jangan mengabaikan permainan. Mereka yang menyeimbangkan keduanya adlah orang-orang yang akan memenangkan permainan game, merasakan kesenangan dalam hidupnya, namun diri sejatinya tetap ia perhatikan dan tidak lupa memberinya makan.

Robot Tak Bisa Meniru Manusia

MANUSIA adalah sebuah sistem. Sistem yang kompleks. Tak ada bagian tubuh manusia yang bekerja mandiri tanpa keterlibatan anggota tubuh yang lainnya. Bahkan meskipun otak adalah bagian terpenting tubuh, dalam proses berpikir ia tak terbebas dari peran anggota tubuh lainnya. Otak mempengaruhi anggota tubuh lainnya, namun ia juga dipengaruhi oleh anggota tubuh lainnya, entah itu jantung, paru-paru, dan yang lainnya.

Jika jantung misalnya tiba-tiba berdetak kencang dikarenakan perubahan situasi yang mendadak yang ditangkap oleh panca indera, maka seketika jantung akan segera memompa darah ke seluruh tubuh, termasuk ke otak, dan otak dengan reflek akan segera memerintahkan anggota tubuh lainnya untuk merespon. Dalam proses menentukan keputusan misalnya, otak juga tidak terbebas dari pengaruh emosi yang muncul dari berbagai reaksi kimiawi hormon-hormon tubuh. Itulah sistem terpadu yang saling berkaitan di dalam tubuh manusia, dan karena itu pula manusia disebut sebagai manusia.

Jika definisi manusia hanya sekedar otak, atau dengan kata lain otak manusia mampu bekerja mandiri tanpa dipengaruhi anggota tubuh lainnya, maka semua robot dengan kecerdasan buatan yang canggih akan dengan mudah bisa disebut sebagai manusia. Kenyataannya, manusia lebih kompleks dibandingkan robot. Manusia memutuskan sesuatu tidak semata-mata karena peran tunggal proses berpikir otak, melainkan ada peran jantungnya, hatinya, paru-parunya, hormon-hormon kimiawinya, dan seluruh bagian-bagian tubuhnya, terlebih emosi dan jiwanya; dan semua itu tidak akan bisa ditiru oleh robot.

Remaja Kehilangan Figur Ayah?

Baca sampai tuntas agar tidak salah menyimpulkan.

***Awal Kutipan***

Beberapa Karakter Remaja Akibat Kehilangan Figur Ayah di Rumah

Sumber: Ummi-online (bukan majalah Ummi versi cetak)

Ayah adalah sosok pemimpin dalam keluarga. Ketidakhadirannya bisa memengaruhi anggota keluarga yang lain termasuk karakter anak dalam fase remaja.

Bagaimana karakter remaja yang kehilangan sosok ayah di rumah? Simak ulasannya berikut ini.

1.Tersesat oleh figuritas

Remaja yang tidak mengenal sosok ayahnya karena sering tidak ada di rumah, akan mempelajari peran ayah dari orang lain. Kalo ibu bisa memberikan pemahaman yang baik tentang sosok ayah mereka, itu bagus. Tapi, kalau tidak, mereka akan menciptakan sosok ayah bayangan yang bisa saja negatif. Mereka yang tidak mengenal sosok ayah akan mencari figur ayah yang bisa ditiru di luar. Nah, ini yang bahaya karena bisa saja figur itu mereka temukan pada orang-orang yang punya maksud tidak baik dan malah menjerumuskan remaja menjadi pemberontak, melawan hukum, atau perbuatan negatif lainnya.

2.Tidak bisa membangun pertemanan

Kondisi masyarakat sekarang penuh dengan kekerasan dan berbagai macam konflik dan emosi. Ketidakhadiran ayah di rumah, membuat remaja bingung dan tidak mengerti harus melakukan apa pada situasi tersebut. Ditambah lagi, kehilangan sosok ayah yang seharusnya bisa membangun suasana dinamis di rumah, membuat seorang remaja menjadi cenderung pendiam dan kurang bisa bersosialisasi. Akibatnya, mereka akan gamang, sulit berkomunikasi dengan orang lain, dan akan sulit pula membangun hubungan di luar rumah.

3.Pribadi yang mudah takut atau trauma

Tidak adanya sosok ayah di rumah, bisa menimbulkan berbagai persepsi pada remaja. Bisa saja mereka merasa dirinya tidak berarti, terabaikan, atau merasa bersalah. Perasaan ini bisa terbawa sampai dewasa. Mereka yang nggak bisa move on dari pikiran itu dan takut merasakan pengabaian, akan takut juga untuk menjalin hubungan, menunjukkan perasaan, atau terlalu bergantung pada orang demi menghindari penolakan.

4.Memperburuk psikologis

Remaja yang diremehkan dan secara emosi tidak diakui oleh ayah, karena ketidakhadirannya, bisa menderita berbagai macam penyakit psikologis seperti depresi kronis, harga diri menciut, dan tidak mampu mengambil keputusan. Mereka cenderung akan mencari pengakuan akan diri mereka, tapi, terlalu takut mengalami penolakan sehingga tidak berani membela diri. Remaja akan terombang-ambing di antara dua kondisi ekstrem, “perilaku penyendiri” atau “ingin mendapatkan kedekatan instan”. Penuh rasa curiga atau pengkhianatan, dan mengidolakan atau menguasai orang lain.

5.Remaja laki-laki menjadi gemulai, yang perempuan terseret pergaulan bebas

Ayah yang tidak hadir dalam keluarga, bisa membuat waktu remaja terutama laki-laki habis dengan ibu nya. Hal itu memang baik, tapi, kalau menjadi kebiasaan, dalam pikiran seorang remaja laki-laki akan tertanam karakter lemah lembut seorang perempuan tanpa diimbangi pemikiran tentang harus kokoh dan kuatnya seorang laki-laki. Mereka kehilangan waktu untuk belajar pada ayahnya soal jati diri seorang laki-laki. Ini bahayanya yang bisa mendorong banyaknya generasi laki-laki tapi, gemulai.

Bagi remaja perempuan, akan lebih berbahaya. Karena kehilangan sosok ayah di rumah, membuat dia kehilangan sosok pelindung. Seorang remaja perempuan yang pasti haus akan kasih sayang, akan mencari sosok itu pada orang lain. Nah, remaja perempuan yang terjerumus pada hubungan yang salah seperti pacaran, akan mencari pelampiasan kasih sayang yang salah, misalnya rela melakukan apa saja untuk pacarnya termasuk terjerumus pada pergaulan bebas.

Na’udzubillah.

***Akhir Kutipan***

Tanggapan kritis atas tulisan di atas:

1. Tersesat oleh figuritas?

Benarkah “remaja yang tidak mengenal sosok ayahnya karena sering tidak ada di rumah, akan mempelajari peran ayah dari orang lain?” BELUM TENTU! Benarkah “kalo ibu tidak bisa memberikan pemahaman yang baik tentang sosok ayah mereka, itu akan menciptakan sosok ayah bayangan yang bisa saja negatif?” BELUM TENTU! Benarkah “mereka yang tidak mengenal sosok ayah akan mencari figur ayah yang bisa ditiru di luar?” BELUM TENTU!

Tampaknya penulis artikel di atas belum membaca kisah Rasulullah SAW yang tidak mengenal sosok ayahnya namun justru berkembang menjadi pribadi yang tangguh, gigih, gesit, dan positif. Penulis merasa yakin dengan apa yang ditulisnya, seakan-akan teorinya (kalau memang bisa disebut teori) benar dan pasti. Metode apa yang dilakukan oleh penulisnya sampai bisa memastikan ini dan itu? Tampaknya penulis begitu yakin dengan ulasannya yang didasarkan hanya pada asumsinya belaka. Ulasan-ulasan berikutnya memperkuat bukti ini.

2.Tidak bisa membangun pertemanan?

“Kondisi masyarakat sekarang penuh dengan kekerasan dan berbagai macam konflik dan emosi.” Benarkah? Pastikah? Sepertinya paradigma penulis yang muncul di sini, bukan kenyataan secara umum. Pandangan penulis terhadap kehidupan begitu naif, hanya melihat hitam dan putih. Penuh? Apa buktinya penuh? Sebuah opini dangkal yang dipaksakan!

“Ketidakhadiran ayah di rumah, membuat remaja bingung dan tidak mengerti harus melakukan apa pada situasi tersebut.” Benarkah? Pernahkah penulis melakukan survey untuk membuktikan kesimpulannya? Ataukah ini hanya kesimpulan berdasarkan imajinasi liar penulis saja? Tidak pernahkah dia membaca kisah tentang anak-anak yang bangkit dari keterpurukan dan menjadi tokoh penting sejarah?

“Kehilangan sosok ayah yang seharusnya bisa membangun suasana dinamis di rumah, membuat seorang remaja menjadi cenderung pendiam dan kurang bisa bersosialisasi.” Benarkah? Bagaimana dengan anak-anak yatim? Sudahkah penulis mempertimbangkan bagaimana jika dia terlahir sebagai anak yatim? Akankah dia masih berpendapat sama jika dia sendiri kehilangan sosok ayahnya sejak kecil?

“Akibatnya, mereka akan gamang, sulit berkomunikasi dengan orang lain, dan akan sulit pula membangun hubungan di luar rumah.” Benarkah? Jika premisnya saja kacau, bagaimana mungkin konklusi penulis tidak akan kacau? Jika sebabnya hasil imajinasi, akibatnya juga hasil imajinasi.

3.Pribadi yang mudah takut atau trauma?

“Tidak adanya sosok ayah di rumah, bisa menimbulkan berbagai persepsi pada remaja. Bisa saja mereka merasa dirinya tidak berarti, terabaikan, atau merasa bersalah.” Benarkah? Apakah Rasulullah juga merasa dirinya tidak berarti, terabaikan, atau merasa bersalah? Bukankah Rasulullah mendapati tidak adanya sosok ayah di rumahnya?

“Perasaan ini bisa terbawa sampai dewasa.” Benarkah? Sepertinya penulis percaya bahwa situasi masa lalu itu permanen dan menjadi parameter masa depan seseorang. Penulis yang tidak percaya bahwa manusia bisa mengembangkan dirinya dan mengubah masa depan dengan tidak dihantui masa lalunya, pastilah tulisannya akan cacat secara paradigma.

4.Memperburuk psikologis?

Kalimat “memperburuk psikologis” itu mensyaratkan sebuah kondisi “buruk psikologis”. Jadi penulis mengasumsikan bahwa semua anak itu pada dasarnya “buruk psikologis” dan ketidakhadiran ayah akan “memperburuk psikologis”. Sebuah sub judul yang menjelaskan di mana kedudukan penulis di bidang penulisan ilmiah.

Ditambah pula kalimat penulis: “Remaja yang diremehkan dan secara emosi tidak diakui oleh ayah, karena ketidakhadirannya,…” di sini dia mengasumsikan bahwa ketidakhadiran sang ayah setara dengan meremehkan dan tidak adanya pengakuan terhadap anak. Gawat sekali tingkat kecacatan paradigma penulis.

5.Remaja laki-laki menjadi gemulai, yang perempuan terseret pergaulan bebas?

Keseluruhan kalimat penulis yang menjelaskan bagian ini hanyalah omong kosong yang tidak memiliki dasar ilmiah. Pernyataan pendek penulis pada bagian ini sangat menyederhanakan masalah dan jauh dari argumen yang ilmiah.

“Na’udzubillah”… Kalimat ini adalah kalimat baik, yang seharusnya dinyatakan untuk meminta pertolongan Tuhan terhadap kejadian yang tak ingin kita alami. Namun kalimat ini dijadikan penutup oleh penulis seakan-akan untuk memperkuat integritasnya agar pembaca percaya dengan seluruh opininya. Seakan kalimat ini menjadi garansi bahwa penulis memiliki kapasitas dan kredibilitas untuk menulis tentang ketidakhadiran ayah dalam korelasinya dengan karakter anak.

Penulis hanya fokus pada hal-hal negatif tentang ketidakhadiran ayah bagi anaknya dan sama sekali tidak mengangkat opini tentang kemungkinan lain, seakan-akan hanya sudut pandangan itulah satu-satunya di dunia ini. Alih-alih menjadi sebuah tulisan inspiratif, tulisan ini hanya menjadi penjara bagi kebenaran atau opini berimbang. Jika sejak awal penulis dengan sengaja hanya menampilkan sisi negatifnya, maka dengan sengaja dia berniat menyesatkan pembaca ke arah satu-satunya paradigma, yaitu paradigma penulis sendiri. Dalam penulisan ilmiah, ini masuk dalam kategori cacat paradigma. Dalam kacamata prinsip, ini disebut sesat pikiran. Sayangnya, dengan modal cacat paradigma dan sesat pikiran itulah tulisan ini diunggah di internet, dibaca banyak orang, dan dibagikan di media sosial. Akibatnya, bukan hanya penulis seorang diri yang sesat pikiran melainkan berpotensi menyesatkan banyak orang yang percaya dan menelan mentah-mentah opini pribadinya tersebut.

Na’udzubillah… Saya berlindung kepada Allah SWT dari penulis yang sedemikian. Tidak menyadari sesat berpikirnya dan tidak sadar bahwa tulisannya bisa saja menyesatkan lebih banyak orang selain dirinya.