Di lereng sebuah gunung yang berselimut kabut, terdapat satu kampung kecil. Lokasinya sangat terpencil, jauh dari hiruk pikuk, dan tak mudah dijangkau. Untuk sampai ke sana, siapapun harus memulai perjalanannya dari kampung luar terdekat dulu, yang jaraknya pun jauh dari jalan raya, lalu berjalan melalui rute menanjak dan terjal, melintasi jembatan di atas sungai, dan ketemu jalanan berbatu, setelahnya melewati padang rumput, dan setelah menembus hutan kecil, barulah sampai di sana.
Warga kampung terpencil itu jarang keluar, kecuali sesekali saja ketika mereka menjual panen padinya, itu pun hanya sampai kampung luar. Kampung di pelosok itu hanya dihuni oleh 35 keluarga. Totalnya mungkin sekitar 100 jiwa. Sebagian besar hidup mereka sebagai petani. Apa saja tumbuh di kampung itu. Bebuahan dan rerimpangan tumbuh subur di sekitarnya.
Para petani menanam padi dengan cara sederhana, tanpa pupuk kimia, airnya pun hanya mengandalkan hujan. Mereka membajak tanah dengan cangkul dan tidak pernah mengunakan sapi. Karena tak ada sapi di kampung itu.
Sebagian penduduk kampung pernah mendengar tentang sapi, sebagian lagi pernah melihatnya dari kejauhan, tetapi tidak ada satu pun yang pernah menyentuh apalagi memeliharanya. Sapi adalah hewan yang berbahaya menurut mereka. Bagi mereka, sapi adalah hewan untuk kampung luar, bukan untuk mereka. Prinsip ini telah berlaku sejak dulu, senantiasa dipertahankan, sampai sore itu.
Sore itu, seorang laki-laki setengah baya bernama Kajen, baru selesai menjual padi di kampung luar. Ia dalam perjalanan pulang ke kampung terpencilnya itu. Saat melintasi jembatan, ia melihat sesosok tubuh besar sedang terjebak di sungai. Kajen turun ke sungai untuk melihat lebih jelas. Ternyata sosok itu adalah sapi. Ia terperanjat. Sapi itu tampak kesusahan dan salah satu kakinya mungkin terjepit di bebatuan sungai.
Kajen berada di persimpangan keputusan: membiarkan sapi itu mati kelelahan ataukah menolongnya?
Tapi kemudian Kajen memberanikan diri mendekati hewan yang kena musibah itu. Disentuhnya tubuh sapi itu dan ternyata sapi itu tidak menggigitnya. Maka mantaplah niat Kajen menolongnya. Ia berhasil menangkap sebagian tubuh sapi itu dan menggiringnya ke daratan yang landai dan kemudian menaikkannya ke tepian. Dan Kajen memutuskan untuk membawa sapi itu ke kampungnya. Kelak Kajen akan menerima konsekuensi atas keputusannya ini.
Kemunculan Kajen bersama sapi tentu saja membuat gempar kampung kecil yang tenang itu. Sapi adalah hal membahayakan. Sapi pasti akan mendatangkan masalah buat kampung. Tak lama lagi kampung mereka akan musnah oleh sapi itu.
Penduduk kampung ketakutan atas kehadiran sapi itu. Maka penolakan pun terjadi. Para warga mengerumuni Kajen saat ia mengikat sapi itu di bawah pohon yang letaknya jauh dari pemukiman. Semua orang tentu saja murka, bahkan anak-anak kecil pun ikut-ikutan marah. Sapi berbahayah itu harus segera diusir jauh-jauh dari kampung mereka. Untuk meredam huru-hara ini, sang pemimpin kampung bernama Patuo mengadakan pertemuan.
Ini pertemuan penting dan harus segera diadakan. Soalnya kampung sedang berada dalam kondisi darurat.
“Kamu membawa sial bersama sapi itu,” hardik Patuo kepada Kajen di hadapan warga yang resah. “Manusia tak mungkin bisa hidup berdampingan dengan sapi.”
Kajen menjawab, “Tapi orang kampung luar bisa hidup berdampingan dengan sapi, Patuo.”
“Sapi itu akan memporak-porandakan kampung kita,” kata salah satu warga.
“Kita semua tak akan bisa mengendalikannya.”
“Aku janji akan berusaha mengendalikan sapi itu,” jawab Kajen. “Aku sudah ikat erat-erat di bawah pohon.”
“Kamu akan menanggung akibatnya, Kajen,” seru Patuo mengancam.
Sidang terhadap Kajen berlangsung hingga tengah malam. Tapi pertemuan itu ujungnya dimenangkan oleh Kajen. Lebih tepatnya oleh keras kepalanya Kajen. Ia bersedia dikucilkan warga demi menyelamatkan sapi.
Orang-orang melihat sapi yang diikat di tepi kampung itu dari jarak jauh dengan curiga. Sebentar lagi tamatlah riwayat kampung mereka. Sapi itu tampak sangat berbahaya. Hewan ganas itu kini sudah ada di kampung mereka. Banyak warga yang tidak bisa tidur tenang malam itu. Suara lenguhan sapi itu terdengar lamat-lamat menembus dinding bambu rumah mereka. Beberapa warga mengalami mimpi buruk malam itu.
***
Sapi yang ditemukan Kajen pastilah sapi seseorang dari kampung luar yang tergelincir hanyut ke sungai. Atau entah sapi dari mana. Untuk menelusuri siapa pemiliknya, Kajen pergi sendirian ke kampung luar keesokan harinya.
Sebelum hadirnya sapi itu, Kajen memang sering datang ke kampung luar. Beberapa warga lain pun pernah datang ke kampung luar. Tapi Kajen adalah orang dari kampung terpencil itu yang paling sering ke kampung luar.
Hari itu, Kajen mengelilingi kampung luar. Bertanya kepada siapa saja yang ditemuinya. Namun tak ada satupun orang di kampung luar itu yang kehilangan sapi.
Mumpung lagi di kampung luar, Kajen menemui Sarip, salah satu warga kampung luar. Sarip adalah salah satu pembeli hasil panen warga kampung terpencil. Kajen tidak asing bagi Sarip. Mereka sudah saling kenal dan saling berteman.
“Sarip, ajari aku bagaimana menaklukkan sapi,” kata Kajen kepada Sarip.
“Kami di sini tidak menyebutnya begitu,” komentar Sarip sambil menahan tawa. “Kami di sini menyebutnya memelihara sapi.”
Sarip bersedia mengajari Kajen bagaimana cara memelihara sapi. Maka sejak itu, setiap siang selama tiga hari Kajen datang ke kampung luar untuk melihat langsung bagaimana Sarip memelihara sapinya.
Setelah tiga hari, Kajen sudah merasa paham bagaimana cara memelihara sapi. Maka di tepi kampungnya, Kajen membuat kandang beratap ijuk agar sapinya tidak kedinginan saat turun hujan. Sejak mengetahui caranya, Kajen memiliki aktivitas baru selain mencangkul sawah, yaitu mencari rumput untuk makanan sapinya.
Belajar dari Sarip, Kajen memanfaatkan sapi itu untuk membajak sawahnya. Dengan cara itu, membajak tanah menjadi lebih mudah baginya. Untuk menjaga kebersihan badan sapinya, seminggu sekali Kajen mengajak sapi ke sungai untuk dimandikan biar bersih.
Sementara Kajen sibuk dengan sapinya, penduduk kampung sibuk mencurigainya.
“Kajen sudah mulai aneh,” kata seorang warga memulai kasak-kusuk.
“Betul. Ia menyajikan rumput sebagai makanan untuk sapi itu… Untuk apa coba?” sahut yang lain.
“Ia juga membuatkan rumah untuk sapi itu,” kata yang satu lagi. Mungkin maksudnya kandang.
“Ada yang lebih aneh lagi,” sahut yang lain lagi, “Seminggu sekali ia pergi ke sungai untuk memandikan sapi itu.”
Kasak-kusuk itu terus berlanjut. Semakin gaduh, dan semakin bergejolak.
Seseorang berkata, “Kajen telah diperbudak oleh sapi!”
Tapi yang lebih aneh lagi adalah kesimpulan seorang warga: “Kajen telah menyembah sapi.”
Karena kasak-kusuk tak terbendung lagi, maka diadakanlah pertemuan kedua. Agendanya sangat penting: membahas sapi. Hanya di kampung terpencil itulah seekor sapi bisa membuat semua warga harus mengadakan rapat sampai dua kali. Rapat kali ini harus ada vonis untuk Kajen.
“Kajen,” seru Patuo pada pertemuan tersebut. “Kudengar, kamu sekarang diperbudak oleh sapi! Benarkah?”
Kajen menggeleng. “Tidak benar, Patuo. Aku hanya memeliharanya. “Aku tidak diperbudak oleh sapi.”
“Lalu, kenapa sapi itu kau beri makan?” tanya Patuo lagi.
Pertanyaan ini wajar. Sebab semua hewan di kampung itu hidup secara liar, bahkan termasuk ayam dan bebek dilepas begitu saja. Hewan-hewan dibiarkan mencari makan di alam bebas.
“Karena sapi butuh makan, Patuo,” jawab Kajen. “Aku gunakan tenaga sapi itu untuk membajak sawah. Sapi perlu makan untuk memulihkan tenaganya… Itu bukan karena aku diperbudak oleh sapi, Patuo.”
“Kamu membangunkan rumah untuk sapi, itu. untuk apa?” tanya Patuo.
“Untuk berteduh, Patuo,” jawab Kajen. “Sapi butuh itu. Juga biar sapi itu tidak lepas.”
Patuo berpikir, sebaiknya sapi ganas itu memang jangan dilepaskan. Taruhannya nyawa soalnya.
“Kamu memandikan sapi itu tiap minggu. Ritual apa itu?” cecar Patuo.
“Memang seperti itu seharusnya yang dilakukan oleh para pemelihara sapi, Patuo,” jawab Kajen apa adanya.
“Apa kamu menyembah sapi?” hardik Patuo.
“Tidak, Patuo,” jawab Kajen tegas. “Sapi itu bekerja untukku. Sapi itu membajak sawah untukku. Maka aku memeliharanya. Aku tidak menyembah sapi.”
Kajen memang keras kepala, tapi jawabannya jujur dan apa adanya. Setelah Patuo tak melihat ada yang menyimpang dari kehidupan Kajen, Patuo membolehkan Kajen meneruskan kebiasaannya memelihara sapi. Tapi hanya sebulan. Kalau dalam sebulan sapi itu terbukti berbahaya, kalau ada warganya yang tewas akibat digigit sapi, maka Kajen harus diusir keluar dari kampung. Kajen menyanggupi tenggat waktu sebulan itu.
Maka, sejak pertemuan kedua itu, Kajen merasa bebas memelihara sapi. Kesempatan ini dipakai Kajen untuk menunjukkan kepada warga bahwa sapi tidak berbahaya. Ia sendiri belum pernah digigit sapi itu. Ia juga memperlihatkan bagaimana mempekerjakan sapi untuk membajak sawah. Sebulan telah berlalu, dua bulan, tiga bulan, dan seterusnya, ditunggu-tunggu ternyata kampung mereka tidak porak poranda.
Setelah satu tahun sejak kedatangan sapi itu, para warga mulai terbiasa dengan sapi dan lenguhannya. Selama setahun belakangan, angka tewas akibat digigit sapi adalah nol. Mereka mulai terbuka pikirannya dan mulai melihat adanya manfaat dari sapi tersebut. Ternyata sapi bisa membantu membajak sawah. Kini bertani semakin mudah. Sapi ternyata tidak berbahaya.
Lalu pertemuan ketiga membahas sapi pun diadakan. Ini pertemuan yang bersejarah. Karena pada pertemuan itu diputuskan bahwa kampung terpencil itu harus mendatangkan lebih banyak sapi. Mereka telah menyelidiki dengan seksama dan mendapatkan kabar valid yang terpercaya bahwa sapi itu bisa diternakkan dan dikembangbiakkan. Sejak pertemuan yang mencerahkan itu, kampung terpencil Kajen pun berubah.
***
Lima tahun berlalu. Kampung itu kini telah punya lima ekor sapi. Satu ekor sapi Kajen dan empat lagi sengaja dibeli dari kampung luar. Setiap satu ekor sapi dipelihara oleh tujuh kepala keluarga. Setiap kelompok menunjuk perwakilan, siapa di antara mereka yang bertugas untuk memelihara sapi, memberinya makan, dan jika perlu memandikannya di sungai.
Kini sapi bukan lagi hal yang dianggap aneh di kampung itu. Penduduk kampung tak lagi curiga pada sapi. Sapi tidak lagi dianggap memperbudak manusia, karena justru mereka memanfaatkannya untuk membajak sawah. Jangan-jangan manusialah yang memperbudak sapi.
Mereka memberi makan sapi-sapinya, bukan karena sapi itu minta diperlakukan demikian, melainkan agar mereka tetap bisa berharap sapi itu memiliki tenaga keesokan harinya untuk bekerja membantu mereka membajak sawah.
Semua sapi dibuatkan kandang.
***
Hari ini telah masuk tahun keenam sejak kedatangan sapi Kajen yang bersejarah itu.
Sore tadi, Kajen telah selesai membajak sawah dengan sapinya yang kini sudah gemuk. Ia dalam perjalanan pulang bersama sapinya. Sebelum ke rumah, ia mampir dulu ke kandang, untuk memasukkan sang sapi ke dalamnya.
Kandang yang dibuat lima tahun lalu itu oleh Kajen diberi nama Keris. Semua warga pun ikut-ikutan menamai kandang sapinya dengan nama Keris.
Kajen menghalau masuk sang sapi ke dalam Keris. Di dalam Keris, Kajen melempar rumput kepadanya.
“Jin, ayo makan makananmu,” kata Kajen kepada sang sapi. Kajen memanggil sapinya dengan nama Jinten. Seringkali ia cukup memanggilnya Jin saja.
“Ini sajian untukmu, Jin… Makanlah, biar besok kamu kuat bekerja lagi.”
Jinten melenguh, “Mooooh…”
Kajen tersenyum kepada Jinten. Sempat terlintas dalam benak Kajen, apakah mungkin sapi itu paham apa yang barusan dikatakannya? Tapi ia tak boleh suudzon.
Kajen memandang ke sekeliling Keris yang tampak mulai kotor dan banyak sarang laba-laba di pojok-pojok dindingnya. Kandang itu tampaknya perlu perawatan, perlu dibersihkan.
“Mungkin sesekali aku perlu membersihkan kandangmu, Jin,” kata Kajen mengajak bicara Jinten.
Jinten melenguh lagi, “Mooooh…”
“Baiklah, Jin, nanti setiap tahun, aku akan mencuci Keris,” katanya.
Setelah itu, Kajen menutup pintu kandang, meninggalkan Jin istirahat di dalam Keris, dan ia pun melenggang pulang.
Hakim SB Mulyono 🇮🇩
Bandar Lampung, 13 Oktober 2017