Terkadang sebuah perjalanan menjadi penting bukan hanya karena tujuannya, namun juga karena kemungkinan akan menjadi siapa seseorang dalam perjalanannya.
Seorang lelaki memutuskan untuk mengembara ke kampung lain yang letaknya di seberang gurun. Di kampungnya yang sekarang, dia tak menemukan jawaban memuaskan tentang kehidupan. Orang-orang di kampungnya tidak berpikir kecuali dalam satu di antara dua cara berpikir yang berseberangan. Para orang tua menganggap bahwa jiwa lebih mulia daripada raga. Sementara anak-anak muda menganggap bahwa raga lebih berharga daripada jiwa. Mungkin di kampung yang lain, di seberang gurun, dia akan menemukan jawabannya.
Kini dia sedang melintasi gurun pasir yang kering kerontang. Kantung minuman yang terbuat dari kulit domba, yang dia bawa sebagai bekal menahan dahaga, kini sudah mulai menipis isinya.
Di seperempat perjalanan, air itu habis sama sekali. Dia berjalan kehausan dengan kantung minuman kosong. Lalu suara itu terdengar.
“Apa yang bisa kau perbuat di tengah gurun dengan membawa-bawa kantung minuman kosong itu? Tak peduli seberapa bagus dan mahalnya kantung minumanmu itu, jika kosong tak ada airnya, kantung itu tak berguna bagimu.”
Dia tahu, memang tak ada gunanya membawa-bawa kantung itu lagi. Maka dia membuang kantung itu dan melanjutkan perjalanan.
Di tengah dahaga yang mulai mendera, dia meneruskan langkahnya dengan langkah-langkah bagaikan raga tanpa jiwa.
Hingga di pertengahan perjalanan, dia tiba di sebuah oasis dengan air yang melimpah. Dia minum sepuas-puasnya, sampai hilang semua dahaga. Lalu suara itu terdengar lagi.
“Apa yang bisa kau perbuat dengan air melimpah yang disediakan oasis ini jika kau sendiri tak bisa menyimpannya? Jika kau berhenti di sini kau akan mati kelaparan. Jika kau meneruskan perjalanan, maka tiadanya kantung minuman membuat air yang melimpah ini tiada artinya.”
Oasis ini berada di tengah jarak perjalanannya. Dia berpikir untuk kembali, tapi itu tak mengubah apapun. Dia berpikir untuk mencari kantung minumannya lagi, tapi itu akan membuang waktu sia-sia. Bukan hanya masalah jarak, yang mana bolak-baliknya sama dengan sisa perjalanannya, tapi juga masalah kantung itu sendiri, dia tak ingat di mana tadi telah membuangnya.
Maka dia memutuskan meneruskan langkahnya dengan langkah-langkah gontai bagaikan jiwa tanpa raga.
Di sisa perjalanannya yang tinggal seperempat lagi, dia berjuang menahan dahaga dan terus menyesali keputusannya yang gegabah. Dalam kondisi dahaga itu pikirannya mulai bekerja. Pikirannya terus bekerja dan mulai melihat makna. Suara-suara yang dia dengar tadi yang seakan berasal dari gurun, bisa jadi sebenarnya berasal dari suara hati nuraninya sendiri. Tiba-tiba, jawaban itu kini tersedia.
“Kantung minuman tanpa air tiada berguna. Air tanpa kantung minuman tiada artinya.”
Kini dia meneruskan sisa perjalanan dengan jiwa dan raganya.