Siang itu, di salah satu ruang tunggu Bandara Soeta, terjadi kekacauan. Para penumpang berteriak-teriak sambil merusak apapun yang ada di depannya. Kursi-kursi ditendang. Rak charger digulingkan. TV layar datar dijatuhkan. Kondisi siang itu sangat berantakan.
Beberapa menit sebelumnya, petugas maskapai memberi tahu bahwa pilot yang seharusnya menerbangkan pesawat Boeing 777 tiba-tiba jatuh sakit. Alasan itu dianggap tidak masuk akal oleh para penumpang karena jika demikian keadaannya kenapa tidak diberitahukan sebelumnya, padahal jadwal take off sudah tertunda 2 jam. Anehnya, menurut salah satu penumpang yang murka, kenapa tak ada pilot pengganti? Belakangan petugas memberi tahu pilot pengganti terdekat membutuhkan 5 jam untuk sampai di bandara. Info ini semakin aneh didengar oleh para penumpang yang mulai kalap. Semua itu memicu sikap anarkis para penumpang.
Kini ruang tunggu bagaikan stadion rusak yang hancur gara-gara tawuran antar supporter sepakbola. Sobekan-sobekan koran dan majalah di mana-mana. Sampah-sampah sisa makanan sengaja diserakan. Seorang penumpang yang bakat provokator mulai membakar kertas-kertas dengan korek api yang berhasil lolos dan tidak disita petugas.
“Berangkatkan kami sekarang juga!” teriak seseorang. Teriakan ini disambut pekikan kemarahan yang lainnya. Seseorang berteriak, “Kalau tidak berangkat sekarang, kita hancurkan bandara!” Kekacauan semakin merajalela.
Di tengah huru-hara yang mengkhawatirkan itu, tiba-tiba muncul seseorang lelaki berbaju jingga. Perawakannya biasa saja, umurnya setengah baya, namun teriakannya lumayan lantang. “Diam kalian semua!” teriaknya, “aku akan jadi pilotnya! Pesawat akan segera berangkat!”
Nama orang ini Pak Markentir. Dia adalah petugas cleaning service yang baik hati. Hidupnya jujur dan tak pernah menyakiti siapapun. Dia rajin ibadah dan tak pernah mencela. Di kalangan rekan-rekan cleaning service, dia dikenal sebagai orang tua yang ikhlas. Kepada beliau inilah sekarang tanggung jawab penerbangan ini dibebankan. Sungguh seorang sukarelawan yang berani berkorban, bukan?
Hanya dua penumpang di antara ratusan lainnya yang tahu profesi asli Pak Markentir. Saat semua orang sudah di kabin, termasuk mereka berdua, dua orang penjaga rahasia ini saling berdebat.
“Seharusnya kita nggak usah naik pesawat ini,” kata yang satu. “Aku nggak yakin Pak Markentir bisa menerbangkan pesawat ini.”
“Tenang saja kawan,” kata yang satu lagi. Kebetulan dia berprofesi sebagai motivator yang selalu optimis. “Kita positif thinking saja. Aku yakin Pak Markentir bisa kok. Dia itu orang baik. Tuhan pasti akan membantunya. Positif thinking saja… Itu.”
(Selesai)
========
Tambahan (dibaca hanya jika mau):
Positif Thinking (atau berpikir positif) itu penting. Dan karena penting, tak ada cara lain yang bisa menggantikannya. Positif thinking merupakan cara yang benar untuk menjalani hidup.
Namun dalam kehidupan, positif thinking perlu dilengkapi dengan hal-hal yang lain. Hanya modal positif thinking, belumlah cukup. Positif thinking tidak bisa melawan hukum alam, misalnya gravitasi. Jika seseorang jatuh dari jembatan, positif thinking tidak bisa menahan laju tubuhnya saat jatuh ke sungai. Jika seseorang ngebut di jalan raya mengendarai motor, dengan hanya modal positif thinking namun tidak pakai helm, itu tidak menghindarkannya dari potensi bahaya. Selain harus positif thinking, seorang penerjun juga harus siap dengan parasut. Jangan konyol.
Positif thinking perlu dilengkapi dengan hal-hal lain, di antaranya keterampilan menjaga diri, ilmu pengetahuan, kewaspadaan atas potensi bahaya, mitigasi risiko, pengaturan strategi, pengumpulan database, pembangunan sistem yang efisien, peralatan yang mendukung keselamatan, perencanaan yang matang, dan banyak hal lainnya.
Semua hal lain itu sama sekali tidak mengurangi arti penting positif thinking, justru malah melengkapinya. Itu saja.
Hakim SB Mulyono