Baca sampai tuntas agar tidak salah menyimpulkan.
***Awal Kutipan***
Beberapa Karakter Remaja Akibat Kehilangan Figur Ayah di Rumah
Sumber: Ummi-online (bukan majalah Ummi versi cetak)
Ayah adalah sosok pemimpin dalam keluarga. Ketidakhadirannya bisa memengaruhi anggota keluarga yang lain termasuk karakter anak dalam fase remaja.
Bagaimana karakter remaja yang kehilangan sosok ayah di rumah? Simak ulasannya berikut ini.
1.Tersesat oleh figuritas
Remaja yang tidak mengenal sosok ayahnya karena sering tidak ada di rumah, akan mempelajari peran ayah dari orang lain. Kalo ibu bisa memberikan pemahaman yang baik tentang sosok ayah mereka, itu bagus. Tapi, kalau tidak, mereka akan menciptakan sosok ayah bayangan yang bisa saja negatif. Mereka yang tidak mengenal sosok ayah akan mencari figur ayah yang bisa ditiru di luar. Nah, ini yang bahaya karena bisa saja figur itu mereka temukan pada orang-orang yang punya maksud tidak baik dan malah menjerumuskan remaja menjadi pemberontak, melawan hukum, atau perbuatan negatif lainnya.
2.Tidak bisa membangun pertemanan
Kondisi masyarakat sekarang penuh dengan kekerasan dan berbagai macam konflik dan emosi. Ketidakhadiran ayah di rumah, membuat remaja bingung dan tidak mengerti harus melakukan apa pada situasi tersebut. Ditambah lagi, kehilangan sosok ayah yang seharusnya bisa membangun suasana dinamis di rumah, membuat seorang remaja menjadi cenderung pendiam dan kurang bisa bersosialisasi. Akibatnya, mereka akan gamang, sulit berkomunikasi dengan orang lain, dan akan sulit pula membangun hubungan di luar rumah.
3.Pribadi yang mudah takut atau trauma
Tidak adanya sosok ayah di rumah, bisa menimbulkan berbagai persepsi pada remaja. Bisa saja mereka merasa dirinya tidak berarti, terabaikan, atau merasa bersalah. Perasaan ini bisa terbawa sampai dewasa. Mereka yang nggak bisa move on dari pikiran itu dan takut merasakan pengabaian, akan takut juga untuk menjalin hubungan, menunjukkan perasaan, atau terlalu bergantung pada orang demi menghindari penolakan.
4.Memperburuk psikologis
Remaja yang diremehkan dan secara emosi tidak diakui oleh ayah, karena ketidakhadirannya, bisa menderita berbagai macam penyakit psikologis seperti depresi kronis, harga diri menciut, dan tidak mampu mengambil keputusan. Mereka cenderung akan mencari pengakuan akan diri mereka, tapi, terlalu takut mengalami penolakan sehingga tidak berani membela diri. Remaja akan terombang-ambing di antara dua kondisi ekstrem, “perilaku penyendiri” atau “ingin mendapatkan kedekatan instan”. Penuh rasa curiga atau pengkhianatan, dan mengidolakan atau menguasai orang lain.
5.Remaja laki-laki menjadi gemulai, yang perempuan terseret pergaulan bebas
Ayah yang tidak hadir dalam keluarga, bisa membuat waktu remaja terutama laki-laki habis dengan ibu nya. Hal itu memang baik, tapi, kalau menjadi kebiasaan, dalam pikiran seorang remaja laki-laki akan tertanam karakter lemah lembut seorang perempuan tanpa diimbangi pemikiran tentang harus kokoh dan kuatnya seorang laki-laki. Mereka kehilangan waktu untuk belajar pada ayahnya soal jati diri seorang laki-laki. Ini bahayanya yang bisa mendorong banyaknya generasi laki-laki tapi, gemulai.
Bagi remaja perempuan, akan lebih berbahaya. Karena kehilangan sosok ayah di rumah, membuat dia kehilangan sosok pelindung. Seorang remaja perempuan yang pasti haus akan kasih sayang, akan mencari sosok itu pada orang lain. Nah, remaja perempuan yang terjerumus pada hubungan yang salah seperti pacaran, akan mencari pelampiasan kasih sayang yang salah, misalnya rela melakukan apa saja untuk pacarnya termasuk terjerumus pada pergaulan bebas.
Na’udzubillah.
***Akhir Kutipan***
Tanggapan kritis atas tulisan di atas:
1. Tersesat oleh figuritas?
Benarkah “remaja yang tidak mengenal sosok ayahnya karena sering tidak ada di rumah, akan mempelajari peran ayah dari orang lain?” BELUM TENTU! Benarkah “kalo ibu tidak bisa memberikan pemahaman yang baik tentang sosok ayah mereka, itu akan menciptakan sosok ayah bayangan yang bisa saja negatif?” BELUM TENTU! Benarkah “mereka yang tidak mengenal sosok ayah akan mencari figur ayah yang bisa ditiru di luar?” BELUM TENTU!
Tampaknya penulis artikel di atas belum membaca kisah Rasulullah SAW yang tidak mengenal sosok ayahnya namun justru berkembang menjadi pribadi yang tangguh, gigih, gesit, dan positif. Penulis merasa yakin dengan apa yang ditulisnya, seakan-akan teorinya (kalau memang bisa disebut teori) benar dan pasti. Metode apa yang dilakukan oleh penulisnya sampai bisa memastikan ini dan itu? Tampaknya penulis begitu yakin dengan ulasannya yang didasarkan hanya pada asumsinya belaka. Ulasan-ulasan berikutnya memperkuat bukti ini.
2.Tidak bisa membangun pertemanan?
“Kondisi masyarakat sekarang penuh dengan kekerasan dan berbagai macam konflik dan emosi.” Benarkah? Pastikah? Sepertinya paradigma penulis yang muncul di sini, bukan kenyataan secara umum. Pandangan penulis terhadap kehidupan begitu naif, hanya melihat hitam dan putih. Penuh? Apa buktinya penuh? Sebuah opini dangkal yang dipaksakan!
“Ketidakhadiran ayah di rumah, membuat remaja bingung dan tidak mengerti harus melakukan apa pada situasi tersebut.” Benarkah? Pernahkah penulis melakukan survey untuk membuktikan kesimpulannya? Ataukah ini hanya kesimpulan berdasarkan imajinasi liar penulis saja? Tidak pernahkah dia membaca kisah tentang anak-anak yang bangkit dari keterpurukan dan menjadi tokoh penting sejarah?
“Kehilangan sosok ayah yang seharusnya bisa membangun suasana dinamis di rumah, membuat seorang remaja menjadi cenderung pendiam dan kurang bisa bersosialisasi.” Benarkah? Bagaimana dengan anak-anak yatim? Sudahkah penulis mempertimbangkan bagaimana jika dia terlahir sebagai anak yatim? Akankah dia masih berpendapat sama jika dia sendiri kehilangan sosok ayahnya sejak kecil?
“Akibatnya, mereka akan gamang, sulit berkomunikasi dengan orang lain, dan akan sulit pula membangun hubungan di luar rumah.” Benarkah? Jika premisnya saja kacau, bagaimana mungkin konklusi penulis tidak akan kacau? Jika sebabnya hasil imajinasi, akibatnya juga hasil imajinasi.
3.Pribadi yang mudah takut atau trauma?
“Tidak adanya sosok ayah di rumah, bisa menimbulkan berbagai persepsi pada remaja. Bisa saja mereka merasa dirinya tidak berarti, terabaikan, atau merasa bersalah.” Benarkah? Apakah Rasulullah juga merasa dirinya tidak berarti, terabaikan, atau merasa bersalah? Bukankah Rasulullah mendapati tidak adanya sosok ayah di rumahnya?
“Perasaan ini bisa terbawa sampai dewasa.” Benarkah? Sepertinya penulis percaya bahwa situasi masa lalu itu permanen dan menjadi parameter masa depan seseorang. Penulis yang tidak percaya bahwa manusia bisa mengembangkan dirinya dan mengubah masa depan dengan tidak dihantui masa lalunya, pastilah tulisannya akan cacat secara paradigma.
4.Memperburuk psikologis?
Kalimat “memperburuk psikologis” itu mensyaratkan sebuah kondisi “buruk psikologis”. Jadi penulis mengasumsikan bahwa semua anak itu pada dasarnya “buruk psikologis” dan ketidakhadiran ayah akan “memperburuk psikologis”. Sebuah sub judul yang menjelaskan di mana kedudukan penulis di bidang penulisan ilmiah.
Ditambah pula kalimat penulis: “Remaja yang diremehkan dan secara emosi tidak diakui oleh ayah, karena ketidakhadirannya,…” di sini dia mengasumsikan bahwa ketidakhadiran sang ayah setara dengan meremehkan dan tidak adanya pengakuan terhadap anak. Gawat sekali tingkat kecacatan paradigma penulis.
5.Remaja laki-laki menjadi gemulai, yang perempuan terseret pergaulan bebas?
Keseluruhan kalimat penulis yang menjelaskan bagian ini hanyalah omong kosong yang tidak memiliki dasar ilmiah. Pernyataan pendek penulis pada bagian ini sangat menyederhanakan masalah dan jauh dari argumen yang ilmiah.
“Na’udzubillah”… Kalimat ini adalah kalimat baik, yang seharusnya dinyatakan untuk meminta pertolongan Tuhan terhadap kejadian yang tak ingin kita alami. Namun kalimat ini dijadikan penutup oleh penulis seakan-akan untuk memperkuat integritasnya agar pembaca percaya dengan seluruh opininya. Seakan kalimat ini menjadi garansi bahwa penulis memiliki kapasitas dan kredibilitas untuk menulis tentang ketidakhadiran ayah dalam korelasinya dengan karakter anak.
Penulis hanya fokus pada hal-hal negatif tentang ketidakhadiran ayah bagi anaknya dan sama sekali tidak mengangkat opini tentang kemungkinan lain, seakan-akan hanya sudut pandangan itulah satu-satunya di dunia ini. Alih-alih menjadi sebuah tulisan inspiratif, tulisan ini hanya menjadi penjara bagi kebenaran atau opini berimbang. Jika sejak awal penulis dengan sengaja hanya menampilkan sisi negatifnya, maka dengan sengaja dia berniat menyesatkan pembaca ke arah satu-satunya paradigma, yaitu paradigma penulis sendiri. Dalam penulisan ilmiah, ini masuk dalam kategori cacat paradigma. Dalam kacamata prinsip, ini disebut sesat pikiran. Sayangnya, dengan modal cacat paradigma dan sesat pikiran itulah tulisan ini diunggah di internet, dibaca banyak orang, dan dibagikan di media sosial. Akibatnya, bukan hanya penulis seorang diri yang sesat pikiran melainkan berpotensi menyesatkan banyak orang yang percaya dan menelan mentah-mentah opini pribadinya tersebut.
Na’udzubillah… Saya berlindung kepada Allah SWT dari penulis yang sedemikian. Tidak menyadari sesat berpikirnya dan tidak sadar bahwa tulisannya bisa saja menyesatkan lebih banyak orang selain dirinya.